DI
BALIK TABIR AYAT CINTA
5 Juli 2010 pukul 21:28
Prolog
Sudah dua tahun aku menjadi penghuni
asrama, banyak kejadian-kejadian yang kulalui, berbagai kisah terjadi di
Pondokan ini, pondokan yang dikenal dengan nama Pesantren Musthafawiyah, tempat
berbagi kisah suka dan duka, dan dukanya lebih mendominan menurutku, selama
empat semester tidak ada cerita indah yang menarik untuk ku ceritakan,
sepertinya, semester ini akan banyak cerita indah bagiku, seorang cowok dewasa
mendekati-ku, lebih tepatnya menyukai-ku, tidak munafik, aku juga menyukainya.
sebenarnya! Meski terkurung bagai terpenjara, Akulah yang bersi- keras
untuk bersekolah disini, Lembaga Pendidikan yang menempati urutan pertama siswa
terbanyak di seluruh Indonesia bahkan waktu mendaftar saja Aku menempati no
induk 94043, berarti hampir 100.000 murid yang sudah menjadi santri. Padahal,
fasilitas di Pesantren ini tidak secanggih pondokan Gontor salah satu Pesantren
Modren dengan segala kemodrenannya yang ku kenal juga memiliki banyak
santri. Berawal dari keinginan hidup mandiri, Aku sendirilah yang meminta
pada orang tuaku untuk bersekolah di Pesantren yang setiap pagi mengharuskan
Aku sarapan dengan sepotong tempe dan se-sendok cabe. Dulu sekali, Aku berhayal
yang indah-indah tentang pesantren yang akan mengurungku selama tujuh tahun,
kamar dengan spring bed empuk, sungai yang mengalir indah, guru yang
ramah, perkebunan coklat, manggis, durian, dan duku sungguh kebun indah di
belakang asrama yang menjulang diantara pegunungan Sorik Marapi, gunung yang
punya seribu cerita magic, hampir setiap hari ku dengar cerita menarik dari
gunung keramat itu, pegunungan yang diapit bukit barisan yang megah terkadang
menyeramkan bagi para santri yang ingin menaklukkan ketinggiannya,
meskipun penuh dengan cerita seram, para santri laki-laki merasa belum sempurna
menjadi santri di Pesantren jika belum menaklukkan ketinggiannya,
bertolak belakang dengan santriyati yang lebih suka menyembunyikan telinga di
balik bantal dari pada mendengar cerita magic plus mistis dari gunung keramat
itu. Menaklukkan ketinggian gunung keramat itu adalah satu dari sekian
hayalan tingkat tinggiku, satu lagi hayalan tingkat tinggi-ku, bertemu banyak
teman dan cowok “idaman” / idaman menurut pikiranku
tentunya. Tidak ada satupun dari hayalku ada di asrama ini, semua berbalik
arah, kamar dengan papan berumur puluhan tahun, hanya ber-alas karpet itulah spring
bed empuk sebenarnya, Guru yang setiap hari bermuka asam dengan kerutan
jeruk purut di wajah perawan tua_nya, kebun…yah!memang ada kebun di belakang
asrama_sesuai hayalanku, tapi jangan harap bisa bersenang-senang melepas lelah
disana, yang ada peraturan tak tertulis “ barang siapa mendekati kebun indah
di belakang asrama maka bersiaplah menyambut aroma toilet di kanan asrama”
bagaimana dengan teman..?!Aku harus bekerja-keras untuk beradaptasi dengan
penghuni yang super heterogen, majemuk, plural apalagi namanya? Aku tidak bisa
memberi istilah yang pas untuk kemajemukan yang ku_temukan. Seharusnya perlu
ada Ralat persepsi atau Ralat depenisi tentang asrama Pesantren, sebab tidak
semua yang ada di pesantren ini serba religius termasuk individunya, dari data
statistik yang Aku punya 45% anak asrama di “campakkan” kemari oleh orang
tuanya karena ber-stempel sebagai anak bermasalah baik dari psikologi maupun
intelijensi bahkan bermasalah dengan hal ekonomi, termasuk juga bermasalah
dengan “penyakit lingkungan” ( kenakalan remaja, narkoba, dan
kenakalan-kenakalan lainnya) tujuan orang tua mereka simple saja, anaknya
terbebas dari segala yang membuat sakit kepala mereka, jadi ustazd atau jadi
apa saja boleh asal jangan menyusahkan mereka, semua orang tua takut struk
memikirkan anak-anaknya, begitulah keinginan orang tua yang terima bersih
urusan pembelajaran. Apakah aku menyesal telah terbuang di asrama ini? Aku
belum menemukan jawabannya, mungkin jawaban itu akan ku temukan setelah aku
tidak lagi menjadi penghuni asrama, “ilmu yang kau dapatkan akan menemui
keberkahannya ketika kau menjadi alumni” begitulah jawaban yang sering ku
dengar dari para senior, rasanya aku mulai betah dengan segala macam
peraturan yang sangat tidak meyenangkan, apa ada peraturan yang
menyenangkan? kalau peraturan dan undang-undang adallah suatu hal yang menyenangkan
maka tidak akan ada koruptor di Negara ini, yah..!aku mulai betah. Karena semua
peraturan sudah terbiasa ku jalani, biasa melihat adegan hukuman angkat batu,
biasa melihat anak asrama di hukum dengan spanduk berisi kata-kata memalukan
yang digantungkan dileher, biasa dengan adegan hukuman tamparan yang membekas
di pipi terdakwa kasus pacaran, bahkan terbiasa makan hanya berteman lauk
bakwan goreng tanpa cabe, semua berjalan begitu saja. Menjadi rutinitas setiap
hari yang harus dilalui. Untuk makhluk-makhluk yang se-kelas denganku, Ada
Amalia asal Pekanbaru, cewek centil mengaku manis berlagak sok selebritis
kolektor cowok yang super kolektif, yang sangat bangga dengan tahi lalat di
bawah bibirnya, selanjutnya!ada Yanda dengan aksen medan yang kental,
wajahnyq!penasaran?!Copi-an Sarah Azhari dengan tubuh langsing berkacamata
minus, mata sedikit menceng (besaran mata kanan dari pada mata kiri,
tentu kalau yang melihat secara mendetail ke arah mata yang katanya sudah
menghipnotis tujuh cowok dalam satu semester). mereka berdua sebenarnya
bagaikan bumi dan langit, Aku juga bingung kenapa manusia yang selalu beda
pendapat itu bahkan sedikit sering berperang bisa akrab sekali, bahkan jadi
gunjingan seantero Asrama karena aksi-aksi nekat mereka dalam menggaet cowok
yang menurutku aneh. Cowok di koleksi?anehkan?!!mungkin itulah salah satu
alasan Amalia dan Yanda menjadi dua cewek yang cukup berbeda di antara Anak
asrama dan menjadi sahabat dengan karakter langit dan bumi, bahkan
bersaing untuk selalu digosipin. Ada juga Riadoh, cewek kocak turunan
mandailing tulen, berasal dari pedalaman desa longat, salah satu perkampungan
yang menyisakan kisah perang zaman Belanda, tidak akan ada yang menyangka
setelah hutan ber-puluh kilo meter dilalui, ternyata ada beberapa rumah
penduduk, disanalah si kocak yang suka melawak dilahirkan ibu-nya, masih banyak
lagi nama kawan se-lokal yang tidak perlu kuingat dan kutuliskan, hanya
menghabiskan kertas dan memori otakku saja, bagiku mereka tidak penting, karena
sifat anak asrama yang mendominasi meski tidak semua tapi itu tadi, “dominan”,
alias kebanyakan “mementingkan diri sendiri, ember bocor, cemburuan, kompetitif
dalam hal cowok” aku tidak suka terlalu banyak teman, aku dapat
membaca karakter mana saja yang bisa ku jadikan teman. Selama empat
semester, adaptasiku berjalan lancar, hanya Ketarenlah satu-satunya cewek yang
menjadi teman akrab_ku. Ia juga yang selalu Iri pada Ketenaran Yanda dan Amalia
yang super sensasional, sebenarnya Yanda dan Amalia cukup baik untuk dijadikan
teman mengingat mereka juga punya karakter yang blak-blakan seperti Ketaren.
Meskipun sudah empat semester satu kelas. aku belum dekat apalagi akrab dengan
mereka. Oh..ya ada yang terlewatkan! Susi Indriani nama sosok yang akan selalu
ku kenang nantinya, gadis manis berpostur semampai alias semester tak sampai,
bermata teduh sedikit mengundang kesedihan, itulah yang terbaca olehku ketika
memandang wajahnya, rambut panjang berombak hingga lututnya, gigi putih
berderet rapi, jika tersenyum bisa saja menghipnotis makhluk yang bernama cowok
dalam waktu satu menit saja, bahkan banyak penduduk asrama yang menggosip
miring, mengatakan: Kak Susi pakai pesugihan pemanis, jelas gosip yang
tidak masuk akal. Gadis yang selalu membuat aku percaya diri, semangat,
tidak putus asa, mengenalkan arti kedewasaan, mengerti betapa sakit-nya
kehidupan yang Broken. Ibu-nya bercerai ketika Ia masih dalam kandungan,
bagaimana mungkin wanita hamil diceraikan? Tapi itulah kenyataannya, aku tidak
mengerti mengapa masih saja ada laki-laki yang tega meninggalkan tanggung
jawabnya, setelah Ia lahir, sang Ibu-pun menyerahkankan Susi bayi kepada
nenek-nya, kemudian merantau menjadi TKI Di Negeri jiran Malaysia. Kisah yang
dramatis, Aku selalu menangis jika Ia bercerita tentang sakitnya hidup tanpa
orangtua. “mending sekalian jadi anak yatim piatu Rhe..daripada hidup
punya orang tua tapi seperti yatim piatu” begitulah yang selalu dinyatakan Kak
Susi padaku jika Ia sedang galau, ku tahu dia punya jiwa yang berbeda dari anak
asrama kebanyakan. Jiwa-nya yang terkadang labil tidak mampu dalam
mengendalikan apa yang tengah dihadapinya. Bahkan Ia pernah begitu merindukan
ayahnya hingga Ia ingin bunuh diri, dengan menjatuhkan diri dari tingkat tiga
asrama putri, untung saja aku mampu merayunya untuk tidak melakukan aksi nekat
itu, aku tidak memberitahu siapapun aksi bunuh diri itu termasuk pada encik[1]
asrama, aku tidak bisa membayangkan betapa hancur hatinya menahan kerinduan
untuk sang ayah selama bertahun-tahun tanpa mengenal wajahnya. Untuk itu aku
hadir berbagi duka yang Ia rasakan, mekipun beresiko akan ikut terkena getah
dari ketidak sukaan anak asrama pada Kak Susi “Kau adikku satu-satunya
Rhe..suatu saat jika aku berbuat salah, jangan pernah benci padaku.” Itu
adalah kalimat yang acap kali Ia ucapkan. Sampai hari ini aku tidak mengerti
apa maksud ucapannya, mungkin Ia mengetahui kalau dirinya menjadi orang yang
terasing di asrama, dengan sebab keterasingan itu pula, wajar rasanya
jika Ia menjadi manusia dengan karakter yang “suka-suka”(suka memamerkan
senyum centil terhadap para pokir[2], suka membasahi bibirnya meski
tidak sedang sariawan, suka menatap ayah-ayah[3] dengan serius
seolah-olah Ia tengah jatuh cinta). Dan masih banyak lagi sikap “suka-suka”
yang rasanya malu untuk ku ceritakan. Terlepas dari segala kejelakan sikapnya,
Dialah yang mengenalkanku pada sepupunya, sepupu kak Susilah yang ku katakan
sebagai laki-laki yang menyukaiku dan mungkin aku juga mulai menyukainya, sosok
laki-laki bertubuh atletis, berambut sedikit ikal, yang hingga kini masih ku
sembunyikan statusnya, bahwa aku dan Dia sudah resmi berpacaran, dan aku tidak
ingin ada yang mengetahui ini semua termasuk Ketaren. Sebab, Ketaren
memandang tingkah laku Kak Susi yang sering mengundang gosip miring, menjadi nilai
minus untuk dijadikan teman apalagi sahabat. Sejak awal semester di
asrama, banyak peraturan yang tidak tertulis yang wajib dipatuhi. Beberapa
peraturan yang sangat memuakkan tentunya kusimpan dalam memori otakku, aku
tidak ingin ada hukuman yang tidak berlandas logika terjadi padaku, seperti
yang terjadi pada santri lain, selama libur semester aku menyiapkan diri untuk
berbagai ancaman peraturan asrama dengan memperbaiki diri agar jangan sampai
tersandung kasus yang menurutku sangat tidak setimpal dengan hukuman yang akan
dilalui, contoh beberapa kasus yang sangat tidak masuk akal dengan memberikan
hukuman sama tidak masuk akalnya :
- Menjadi terdakwa gadis genit alias nakal dengan hukuman ditampar plus dipermalukan oleh seluruh staf senior dari organisasi se-kampung. hanya karena menerima surat dari santri laki-laki…sungguh suatu dakwaan yang aneh. Yang ngasih surat siapa?kadang juga tidak di kenal. Terdakwa dilarang megajukan alasan apapun apalagi pembelaan. Surat cinta dianggap sebagai pintu gerbang menuju zina, aneh sungguh aneh. (kak Susi Indriani adalah pelanggar utama hingga Ia dia asingkan dari sosialisasi asrama) yang melanggar disebut dengan minus susila.
- Terbukti berjumpa dengan lawan jenis, bersiaplah untuk di isolasi dikamar pengasingan yaitu kamar kamboja dan terdaftar sebagai pemegang kartu kuning, artinya jika sekali lagi berbuat, maka kartu merah akan di terima, alias drop out dari Pesantren.
- Yang memakai kain sarung melewati mata kaki ketika masuk kelas atau berpergian akan menjadi terdakwa sebagai bandit asrama, di cap sebagai santri yang tidak patuh pada peraturan, bersiaplah untuk selalu menjadi bahan gunjingan seantero Pesantren dan di perkirakan akan masuk daftar buronan yang akan dicari kesalahannya, meski tidak berbuat salah. (Hal ini yang paling sering dilakukan Amalia dan Yanda)
- Yang pandai bersilat lidah dia akan selalu mendapat pujian sebaliknya jika berani blak-blakan dan protes terhadap hukuman, bersiaplah untuk mendapat lima jari manis encik Hanna Chaniago. (kalau tidak salah! nama yang suka dengan peraturan ini adalah Cahaya permata, kawan se-lokalku yang super cari perhatian, yang tidak ingin ku ingat sedikitpun cerita tentangnya)
- Sendal maupun kain basahan mandi, yang terletak di tangga atau tidak berada pada tempat tidur milikmu maka siapapun boleh memakainya, dan dilarang protes.
- Barang siapa namanya pernah di panggil cowok saat jam pelajaran atau saat guru menjelaskan pelajaran dan mendengar seseorang dipanggil tanpa sebab jelas. Bersiaplah di permalukan dengan leher di kalungi karton bertuliskan “cari jodoh” (Neni Klefistra dan Ketaren pernah mendapat hukuman ini)
Yang ku tulis dan yang kusimpan di
memori otakku hanya beberapa peraturan yang tidak tertulis di kantor Sekolah,
melainkan peraturan yang terbentuk sendiri oleh zaman per zaman, tidak ada yang
ingin mengubahnya bahkan hari ke hari-hari semakin berkembang, ANDAI SAJA AKU
BISA MENGUBAHNYA…dan Ketaren termasuk salah satu pelanggar peraturan nomor
satu, sebab yang ku ketahui selama dua semester di kelas dua, Ketaren sudah dua
kali di permalukan di depan umum dengan leher digantungi tulisan “cari jodoh”.
Walau aku sahabatnya, aku tidak mengetahui sama sekali mengapa Ketaren suka
melanggar peraturan. Semester lalu Neni Klefistra dari kisaran yang
pernah mengalami hal yang sama dengan Ketaren mulai mengakrab_kan diri pada aku
dan Ketaren, siapapun yang se-nasib denganmu dalam hal hukuman maka Ia spontan
akan menjadi sahabat karibmu, begitulah prinsip persahabatan ala asrama,
prinsip yang sepertinya tidak akan bisa di ubah oleh siapapun termasuk
zaman apapun dan se-modren apapun zaman-mu, karena aturan turunan akan tetap
abadi di asrama, kalau ingin melenyapkannya sepertinya hanya ada satu cara,
asrama ini plus Pesantren ini harus di lenyapkan juga.(mana mungkin). Aku
lupa!Satu lagi nama yang bernasib sama dengan Ketaren, Elfrida asal porsea
bermata sipit dengan aksen batak padahal aslinya keturunan indo china. Tentang
Ketaren!!dengan nama yang indah Derma Sari Ketaren gadis bermata lentik
berdarah karo tulen, ber-asal dari sebuah pintu gerbang menuju kota medan, Desa
Galang pinggiran kota Lubuk pakam Kabupaten Serdang bedagai, Aku ingin sekali
berlibur ke kampungnya, mengingat Ketaren sering bercerita tentang Pantai
cermin yang indah di sudut Kota tempat Ia menghabiskan liburan bersama cowok
idamannya, sebenarnya Aku tidak percaya Ketaren punya pacar, siapa sih
laki-laki yang mau dengan rambut keriting kering, pirang dan Ketaren juga bukan
tipe cewek yang lembut alias Feminim, sebaliknya, Ia tomboy. suka asal ngomong,
tanpa memikirkan sakit hati lawan bicara, memberi pelajaran berharga bagi anak
asrama yang pelit, dengan menyembunyikan sambal untuk makan malam, berani
menentang guru manapun, termasuk encik Hanna Chaniago, si wajah angker
dengan gelar perawan permanen.! yang dua kali pernah menamparnya tanpa sebab
yang jelas. Dan aku bukan pelanggar peraturan, paling tidak selama empat
semester aku bebas hukuman, Ketaren akrab dengan ku bukan karena kami pernah
sama-sama di hukum, tapi karena Ketaren selalu berharap isi otakku tumpah di
atas meja belajarnya, Terlepas dari kejelekan yang Ketaren punya, Ia punya sisi
baik yang berbeda dari cewek asrama kebanyakan, suka menolong dan dengan mudah
menghamburkan uang kiriman orangtuanya, dalam waktu seminggu demi mentraktir
kawan se-kamar di kantin asrama dan menceritakan tentang penghasilan orang
tua-nya dari hasil Kelapa sawit yang berhektar-hektar, bahkan Ketaren sering
meminjami_ku duit tanpa meminta di kembalikan. Aku sering berhutang budi
pada kebaikannya, itu adalah salah satu dari sekian alasan mengapa aku jadi
begitu akrab dengan makhluk pencemburu itu, hutang budi adalah alasan lain
selain dari aku sebagai operator jawaban. Semoga akan ada cerita menarik
semester ini, yang akan kuceritakan pada anak cucuku nantinya *****
BAB I
ASRAMA PUTRI MUSTHAFAWIYAH
Huh lega rasanya, Akhirnya sampai
juga aku ke Desa santri ini. Tempat yang lebih dikenal dengan sebutan Penjara
Suci, yah..disebut dengan penjara karena akan mengurung para santrinya selama
enam bulan alias satu semester, ditambah kalimat suci karena di penghuninya
adalah jaka-dara yang masih belia, perawan tulen plus jejaka tulen yang tinggal
terpisah, bersama rombongan patayat-patayat[4] yang mulai memadati
asrama dan mencari kamar yang sudah di booking sebelum liburan usai,
tidak ada penempatan kamar yang permanen, siapapun boleh menempati kamar
manapun bahkan ada istilah turun temurun di asrama, “siapa cepat dia dapat”
jadi, bisa memilih kamar yang di inginkan, diantara riuh manusia aku
mencari Ketaren, kami berjanji untuk se-kamar lagi semester ini.
“Hai…lagi cari Aku ya…?sini..ada
yang mau Aku bilang! Penting.sebelumnya kau jangan lupa dengan rencanaku?”
“Mengenai kakak senior yang galak
tu?”
( ketaren menarik tangan-ku ke sisi
kanan kamar 5 mawar )
“ Bukan Cuma itu. Kita se-kamar
dengan Yanda dan Amalia…kau harus mempersiapkan cowok keren untuk dikenalkan
pada mereka sebelum kau di bilang katrok..atau cewek nggak laku..”
“ Aku nggak takut..”
“ Mereka itu bandit asrama..lebih
bandit dari pasukan tuan kapoor bahkan lebih sering curang dari aku Rhe.. kau
mau tau kejahatan apa saja yang pernah mereka perbuat..aku perincikan ya..
- Pernah belanja di Waserda[5] sebanyak mungkin dan membayarnya dengan seribu rupiah. Belanjaannya di sembunyi-in di dalam parit yang ada di samping kiri waserda.
- Kabur dari asrama demi jumpa cowok yang sama sekali tidak cakep.
- Selalu punya utang di kantin manapun di asrama ini.
- Pernah memalsukan tanda tangan Encik asrama demi menonton pameran di Aek godang
Aku menarik tangan ketaren menuju
kamar yang sudah kami tandai sebelumnya menjadi kamar kami, kamar 3 mawar.
“ Itu tingkah mereka.bukan kita, Kau
paham.”
Ketaren mengangguk, tidak membantah,
dari pertama mengenalnya Ia selalu mengalah bak pembokat yang patuh pada
majikannya, tahu kenapa?takut tidak Aku beri contekan dan jawaban pertanyaan!
kalau-kalau encik berwajah jeruk purut memberinya pertanyaan, yang
apabila tidak di jawab! bersiap-siap mengantongi obat rematik karena kelamaan
berdiri di atas bangku. Padahal aku sangat yakin Ketaren juga pernah melakukan
penipuan jumlah belanjaan-nya di waserda, Ketaren mulai membentang karpet 2x1
yang baru kami beli di pasar kamis berjarak 10 kilometer dari Asrama, jarak itu
bisa menjadi sangat dekat jika Amalia dan Yanda menaklukkannya dengan berlari
subuh-subuh melompat pagar asrama, kabur dari acara mencuci beras, bersembunyi
saat sholat berjamaah berlangsung, demi jumpa cowok yang menurut Ketaren
berada di urutan ke 80 di bawah Milian Radovic salah satu personil kesebelasan
Persib yang menjadi idola kami berdua. Betapa hancurnya tu wajah!! Apapun
tingkah laku yang selalu di tunjukkan oleh Amalia dan Yanda, sama sekali tidak
menyurutkan niatku untuk akrab dengan mereka, jangan sampai Ketaren tahu hal
ini, bisa ceramah habis-habisan, aku suka dengan karakter berani yang mereka
punya, meskipun sangat sering mengundang hukuman. Aku dan Ketaren mulai
menyiapkan keranjang pakaian, menyusun dua papan yang di gantung diantara dua
tempat tidur 2x1 m2 kemudian menaruh koper tempat penyimpanan makanan di atas
papan tersebut, sembari Ketaren mulai menabur kapur ajaib yang telah di giling
ke sudut-sudut tempat tidur, membasmi kepinding[6] yang mulai merayap.
Aku mulai menyusun pakaian ke dalam keranjang, aku menempati tempat tidur
tengah, sedangkan Ketaren menempati tempat tidur paling bawah, sepertinya di
atasku belum ada yang mengisi, tempat tidur tingkat tiga yang hanya bisa
sedikit miring kanan miring kiri, tanpa kasur empuk, membawa kasur juga salah
satu larangan keras, dua tahun menjadi penghuni asrama belum ada yang berubah
dalam peraturan, santri yang mondok di larang membawa lemari, pakaian hanya di
perbolehkan di taruh dalam keranjang, alasannya cukup diplomatis, menghilangkan
kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, di asrama juga dilarang untuk
berpamer-pamer Ria, disini tidak ada makhluk yang ber-sendal Fladeo, Yongki
komaladi apalagi tas ber-merk Louis Vuitton, untuk kitab-kitab yang akan dibawa
ke lokal yang beratnya mencapai 5/kg hanya ditaruh diatas dua tangan dan
mendekapnya di dada, banyak juga para santri yang hanya menenteng kitab disudut
tangan kanan seolah ia hanya tengah membawa dompet seberat beras untuk makan
seminggu. semua serba sederhana, untuk berpergian dan masuk kelas, cukup dengan
memakai sandal jepit yang sudah di beri tanda sesuai tanda yang di inginkan,
tujuannya simpel saja, agar jangan sampai tertukar dengan sandal jepit kawan.
“ Kita harus menambah kapur ajaibnya
Rhe. kepinding disini sepertinya baru melahirkan massal saat kita liburan.”
“ Ada di tas-ku bisa kau ambil,
sengaja ku beli satu kotak..biar sekalian ke neraka tu kepinding.”
Ironis memang, mengingat penghuni
disini kalau berkumpul dan batuk bersama bisa mengguncang se-Kabupaten, tapi
sayang fasilitas sangat minim. Tidak ada yang protes dengan keadaan pesantren,
wali murid sekalipun, bahkan orang tua santri kebanyakan sangat menyukai
keadaan serba minim ini, termasuk orang tua-Ku, alasannya! belajar menjadi
miskin adalah salah satu pembelajaran jiwa untuk mengerti arti kehidupan.
Duh…terlalu mendramatisir kadang-kadang. Tapi kemana Ketaren kok dari tadi
hening cipta. Aku menghentikan bersih-bersihku melongokkan kepala melihat apa
yang terjadi dengan Ketaren di “kasur empuknya”
“ Mulai menyembunyikan sesuatu dari
Aku Rhe..”
Ketaren memamerkan dompetku yang di
dalamnya terpampang manis foto se-seorang, Aku gelagapan, sebenarnya aku tidak
ingin ada yang tahu meskipun itu sahabat seperti Ketaren. Meski sudah lama
bersahabat tapi aku masih belum mempercayai mulut-nya akan bisa diajak
kompromi. Apalagi jika foto itu ketahuan Yanda dan Amalia, bisa panjang
cerita-nya..
“ Wau…cowok baru ya?kok nggak ngasih
tau ckckkkk”
Benarkan. Baru saja ku pikirkan,
Yanda dengan se-enak perutnya merampas dompetku, “wah….Amalia punya saingan
ne..udah berapa dapatnya dalam satu semester…?” ceme’eh sinis, Aku tidak
menyahut ke-isengannya.
“ Kembalikan dompetku..” tarikku
kembali merampas dari tangannya.
“ Udah punya anak berapa tu cowok,
kalau di liat sih kayaknya sudah beranak dua ha hhahha”
“ Ngakak ja…siapa yang beranak dua?”
Amalia datang, menaiki tempat
tidurku menuju ke atas, rupanya Amalia menempati tempat tidur tepat di atas-ku.
“ Pacarnya Rhena MUTU alias muka tua
ha hahaha” ingin sekali Aku membalas ucapannya tapi Ketaren menarik tanganku
duduk di tempat tidurnya.
“ Apa karena takut di hina kau
menyembunyikannya..”
“ Apa kau kira aku seperti itu.”
Tentu saja aku menyembunyikan-nya,
peraturan tak tertulis telah menjadi pengalaman buatku, Se-angkatan Kami tidak
ada yang pacaran dengan kakak kelas atau yang lebih umur di atasmu. Selera
brondong dan pacar sebaya sepertinya bukan hanya ada pada kalangan artis,
tapi asrama ini juga punya selera yang sama dengan para selebriti. Yanda
sendiri pernah di sukai kakak kelas senior, Sukri Albani asal medan, kalau
Yanda menerimanya menjadi pacar Ia harus bersiap-siap menjadi bahan tertawaan,
mendapat gelar “selera om-om” padahal hanya selisih sedikit umur. Alasan
itulah Yanda tidak menerimanya sebagai pacar. Begitu jugalah sosok yang ada di
dalam dompetku. Sosok laki-laki sudah sangat dewasa menurutku. Terpaut
empat tahun dengan usiaku yang sekitar 6 bulan lagi baru menginjak 15 tahun.
“ Jujurlah..!apa kalian pacaran?
kenal dimana? kenapa selama ini kau nggak ngasih tau kalau kau sudah punya
pacar? Jangan sampe ketauan kakak kelas tujuh foto ni, kau bisa kenak panggil
encik Hanna Chaniago. Siap-siap dengan segala resiko isolasi”
“ Namanya Satiman, lebih tepatnya
Satiman Nur Batubara. Kelas 3 STM Padang sidempuan, dia menyukaiku-bukan
aku yang menyukainya. Aku tidak takut isolasi bahkan kalau sampe Aku berhenti
dari Pesantren! itulah yang ku inginkan, kau mengerti. Titik.”
“ Kalo Kau tidak menyukainya, ngapa
kau simpan fotonya di dompetmu?”
“ Kau lupa kita sekamar sama siapa?.
Cewek belagak laris yang semester ini akan pensiun dari gelar cewek terlaris di
asrama ini. Kau paham maksudku?”
“ Kata-katamu bukan alasan semata
kan Rhe..Aku mengenalmu”
“ Ren, kau bilang kau mengenalku.
Kali ini apakah wajahku menandakan sebuah kebohongan?”
“ Sedikit..sulit dipercaya, matamu
memancarkan kau sedang bahagia, itu saja yang membuat Aku heran, jangan
berbohong padaku, katakan?apa kau menyukai-nya?bukankah seharusnya menjadi satu
kebanggaan, kau di sukai cowok yang tidak satu sekolah dengan kita. Ini nilai
plus Rhena..”
“ Apa kau lebih peduli dengan si
Satiman-ku itu daripada Musthafa Goas??”
Berhasil. Pertanyaan-Ku mampu
mengalihkan perhatian pertanyaan Ketaren. Ketaren mencubit pipiku, matanya
menatap se-seorang dan mengacungkan jempol kiri yang tersembunyi di belakang
punggungnya, Aku bingung…kebingunganpun segera terjawab.
“ Hai Rhe kita sebelahan tempat
tidur..dari dulu Aku ingin sekali se-kamar denganmu, Ketaren bercerita banyak
tentangmu, bagaimana kalau kita sepermakanan.[7]
Aku tersenyum menyambut tawaran
gadis manis berlesung pipi berbadan mungil yang tiba-tiba muncul diantara Aku
dan ketaren, Aku melirik ketaren yang kali ini mengacungi jempol kanannya
untuk-ku dari balik punggungnya, Ia segera beranjak meninggalkan-ku. Nita
Juliana, sepupu dari ketaren menyalamiku menghentikan sementara keingin tahuan
Ketaren tentang sosok itu. Nita baru saja sampai dari kampung halamannya, Aku
tidak begitu mengenalnya, tapi Ia begitu mengenalku, dia kakak senior yang
galak, begitulah pendapat Ketaren, Ketaren pernah di tampar karena kedapatan
surat-suratan dengan pokir[8] tepat jam pelajaran. Sekejam itukah cewek
manis berkulit sawo matang dengan aksen medok karo yang kental ini?!dan
sekarang ia memintaku untuk berbagi tempat makan, makan bersama-sama dengan
waktu yang sama, piringnya boleh kupakai, piringku boleh dipakainya, barangnya
barangku juga, Aku bebas memakai apa saja kepunyaannya, begitu juga sebaliknya.
Sebenarnya hal yang menyenangkan jika ada orang yang menawarkan satu tempat
makan dengan kita, berarti Ia sangat mengagumi kita, untuk acara makan, kami
harus antri di dapur umum dengan membawa termos nasi masing-masing, ukuran nasi
yang di berikan cukup dengan satu setengah cangkir plastik yang sudah menjadi
takaran. Kata guruku kalau makan terlalu berlebihan mudah terserang penyakit,
bahkan kata Ayah Amir “pangkal segala penyakit itu ada di perut, kalau takaran
perutmu berlebih atau kurang maka persiapkan tubuhmu untuk menjadi sarang
penyakit” untuk urusan pembelian lauk: jika ada yang minta sepermakanan
dengan-mu, itu akan meringankan acara pembelian lauk, karena bisa di bagi alias
di kongsi, jadi lebih hemat, Begitulah asrama yang sempat membuat Aku be-berapa
kali ingin segera cepat lulus dan cepat menikah ops…tunggu dulu! benar adanya,
Aku memang punya cita-cita menikah muda, bukan Cuma Aku, Ketaren, Neni bahkan
Elfrida punya cita-cita yang sama, jika “Bkkbn” mengetahui cita-cita kami,
kamilah pelopor utama yang membumi hanguskan program yang di rancang “Bkkbn”
menikah muda. Selain itu semua, asrama punya aturan sendiri dengan pergaulan
dan tata cara makan yang berbeda dari asrama cewek lainnya, siapapun yang
mengagumi-mu bahkan ingin dapat tebeng ketenaran darimu, maka Ia akan
mengajakmu se-permakanan, Ada sesuatu hingga Aku mengiyakan tawaran
Nita, semata-mata ingin melindungi Ketaren dari segala macam aturan senior
versus junior yang sudah mendarah daging di asrama ini. Ketaren bilang Kak
Nita-nya itu sangat mengagumiku dan selalu membanding-bandingkan Aku dan
Ketaren, plus ketika Aku masuk menjadi finalis matan jurmiyah[9]
semester lalu dan menjadi pemenang hafiz I’rab Ia semakin menyanjungku.
Masih kata Ketaren! dengan ber-akrab-akrab dengannya, jalan cinta Ketaren akan
mulus tanpa hambatan, semester ini Ia sedang dekat dengan se-seorang yang satu
angkatan dengan kami, Namanya sudah ku sebutkan tadi, Goas lebih tepatnya
Musthafa Goas, cowok berkulit sawo matang bertubuh jangkung berwajah sedikit
tirus, pemuda dari pinggiran kota medan sebuah desa yang dikenal dengan sebutan
batang kuis, masih cerita Ketaren padaku, desa itu juga terkenal dengan
pantainya yang indah. tentu saja kami tidak satu kelas. Sebab, undang-undang
yang sudah tertulis laki-laki dan perempuan dilarang bertemu apalagi satu
kelas, “haram total” meskipun banyak jalan menuju Roma istilah anak
asrama, artinya banyak tekhnik mencari cinta Pesantren, seperti yang dilakukan
Yanda dan Amalia jika jumpa gebetannya, akan ku ceritakan tekhnik yang
dilakukan Amalia nanti ya! Patayat dan pokir hanya bisa berjumpa jika ada
urusan organisasi sekampung, artinya hanya sesama teman sekampung atau teman
dari daerah asal saja yang boleh berjumpa, walaupun begitu kawan satu tempat asal
bisa dijadikan mak comblang he..he, kembali ke Ketaren, Ketaren berjanji akan
membayar Spp-ku dua semester kalau Aku dekat dengan Nita dan dengan
mudah mencuci otak sepupunya itu dalam berbagai hal yang memuluskan sesuatu
yang Ia rencanakan. Semacam sogokan, Nah ternyata sogok-menyogok sudah mendarah
daging di tubuh manusia Indonesia termasuk di asrama dengan segudang ilmu
agama, bahkan Aku. Rhena Al-hasanah santriyati asal kota Duri, sebuah kota
kecil di lingkup provinsi Riau, penghasil minyak terbesar dengan kekayaan alam
yang berlimpah. Tapi tidak membuat Aku dan keluargaku ikut menjadi kaya.
Setidaknya Aku dapat bersekolah di sekolah ber-asrama dengan fasilitas yang
serba minim ini sudah membuat orangtuaku sungguh sangat bersyukur, kata mereka,
sekolah sederhana dengan kemegahan dan kemewahan ilmu yang tidak terkira yang
akan kudapatkan.Duri adalah salah satu ladang minyak di Provinsi Riau. Ladang
Minyak Duri telah dieksploitasi sejak tahun 50-an dan masih berproduksi oleh
PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI). Bersama Minas dan Dumai, Duri menyumbang
sekitar 60% produksi minyak mentah Indonesia, dengan rata-rata produksi saat
ini 400.000-500.000 barel per hari.
Minyak mentah yang dihasilkan, meskipun tidak sebaik lapangan minyak Minas, merupakan salah satu minyak dengan kualitas terbaik di dunia[rujukan?], yakni Duri Crude. Pada bulan November 2006, Ladang Minyak Duri atau Duri Steam Flood Field mencapai rekor produksi 2 miliar barel sejak pertama kali dieksplorasi pada 1958. Untuk menunjang produksi ini, di Duri terdapat puluhan perusahaan kontraktor, mulai dari yang besar seperti Schlumberger, Halliburton, dan Tripatra-Fluor, hingga perusahaan kontraktor-kontraktor kecil.
(bersambung)
Minyak mentah yang dihasilkan, meskipun tidak sebaik lapangan minyak Minas, merupakan salah satu minyak dengan kualitas terbaik di dunia[rujukan?], yakni Duri Crude. Pada bulan November 2006, Ladang Minyak Duri atau Duri Steam Flood Field mencapai rekor produksi 2 miliar barel sejak pertama kali dieksplorasi pada 1958. Untuk menunjang produksi ini, di Duri terdapat puluhan perusahaan kontraktor, mulai dari yang besar seperti Schlumberger, Halliburton, dan Tripatra-Fluor, hingga perusahaan kontraktor-kontraktor kecil.
(bersambung)
“ hai..kau melamun apa?jangan bilang
kangen sama mama, kita kan baru datang, oh ya..Kalau kau setuju sepermakanan
sekarang semua barang-barang dapur mu taruh di koper-ku aja ya!”
“oke..aku setuju!tapi Ketaren juga
makan sama kita kan?”
“ya iyalah, aku di suruh organisasi
kami untuk menjadi kakak asuhnya, sebenarnya aku lebih suka mengasuhmu Rhena.”
“alasan kakak apa?”
“aku suka saja.”
Nita Juliana mengambil barang pecah
belahku dari tas keranjang bahan pandan yang di berikan ompung-ku, dan
menyatukan barangku di kopernya. Sebenarnya aku sangat mengetahui alasannya
mengajakku sepermakanan, ia akan merasa bangga jika pertandingan Muharram
fair akan datang aku menjadi pemenang lagi, maka dengan bangga Ia akan
mengatakan aku adalah adik asuhnya dan sepermakanan dengan dia. Cuih..lagu
lama para senior untuk tebeng ketenaran. Ini demi Ketaren!! Aku melirik
Nita yang sibuk menuyusun piring-piringku ke dalam kopernya, kemudian beringsut
menuju tempat tidur Ketaren, aku belum bilang…kalau di Asrama ini tidak ada rak
piring, apalagi microwave, yang ada koper yang biasa di pakai untuk pakaian
beralih fungsi menjadi rak piring, sedangkan keranjang yang kami pasang antara
dua papan kecil menjadi tempat pakaian, dua stel baju putih, dua sarung warna
hijau untuk pakaian sekolah, tiga stel baju tidur, satu jaket dan
beberapa rok hitam dan rok dongker. Kalau ingin melihat isi keranjang pakaian
anak asrama hampir 90% sama semua isinya. Rok sengaja di pilih berwarna hitam
dan dongker biar lebih tahan lama di pakai, kalau kotor tidak kelihatan
walaupun bau-nya sungguh sangat tidak mengenakkan.
“Kau keseringan bengong dalam
beberapa jam ini Rhe…apa gara-gara cowok itu?jangan lupa jadwal pelajaran dan
jadwal piket sudah ada di bawah kantor asrama, kalau kau malas kesana.. nanti
ku ambilkan saja, sepertinya kau butuh istirahat, tidurlah..kalau kau sudah
bangun, ceritakan ya..tentang si satiman-mu itu.” Senggol Ketaren
menyikut lenganku yang tanpa sadar sudah duduk manis di tempat tidurnya.
“ Apa sih yang tidak buat-mu Ren”
“ Jangan bercanda, Aku akan menagih
janji Cerita-mu, jangan lupa kau harus mengenalkan-nya pada-ku.”
“ Asal jangan sampai kau ikutan
naksir. He he”
“ Jangan sembarangan ya, tidak akan
lebih cakep dari pacar-ku, tapi sepertinya soal postur tubuh aku mengalah, kau
menang.”
“ Wah…ngaku kalah nih neng..”
“ Gimana kalau kalian jalan berdua,
bisa kayak pohon pisang sama tunas-nya. kau harus pakai tumit setinggi yang
sering dipakai Jupe, baru bisa damai ukurannya. hahaha”
“ Cinta membutakan segalanya,
kau lupa ya, Goas aja sampai nggak bisa melihat rambut-mu yang kayak kumis
jagung di jalin-jalin.”
“ Ya udah lah, aku kan udah ngaku
kalah. Silahkan tidur Nyonya..”
Aku tersenyum, Ketaren seperti
biasanya sangat mengerti aku. membiarkan kepalaku menyentuh bantal dan papan
berumur puluhan tahun yang sudah kami alasi karpet mengajak-ku untuk segera
melepas lelah. Anak-anak yang menempati kamar 3 mawar sudah mulai memadati
tempat tidur masing-masing, sambil se-sekali terdengar ocehan seputar liburan
mereka, tentang cinlok dalam bus, tentang para pokir yang
korupsi ongkos rombongan liburan, tentang perayaan yang gagal menarik
penonton, sampai cerita di taksir anak pak lurah.
“ Begitulah resiko anak pesantren
selalu banyak yang naksir bahkan belum lulus udah di lamar duluan..hahhha.
hahhha”
Tawa renyah berbalas terdengar dari
tempat tidur sebelah, kalau tidak salah namanya Chairidani, kakak kelas tujuh
senior terhebat di kamar ini, Ia bukan Cuma senior, kakak kelas tujuh itu juga
mempunyai tugas menjaga kami yang masih junior, menemani kami ketika takut ke
pancuran (asrama tidak ada kamar mandi, yang ada hanya pancuran air yang
mengalir dari pegunungan di tampung melalui bak seluas 7x1 m) dan
membangunkan kami dengan memercikkan air ke wajah para si junior nakal yang
sengaja ketiduran dan meninggalkan sholat isya dengan sengaja pula,
begitulah asrama selalu penuh cerita yang mengundang tawa. Aku tidak
melihat Yanda dan Amalia, paling-paling.. lagi tebar pesona ke pelosok asrama,
biasa!!selebritas di tinggal produser. Aku menarik selimut sedikit menutup
leher, mataku mulai pedih, ngantuk berat sepertinya.
“ Mau tidur say..ni ada oleh-oleh
dari mamak Kakak, bika ambon kas medan.” Nita menghampiriku
“ Ntar aja kak, ngantuk berat.”
“ Oke deh, tapi ini special kakak
bawakan untukmu”
“ Terima Kasih banyak Kak. Tapi Rhe
benar-benar ngantuk, nanti saja kita makan sama-sama dengan Taren ”
“aku hanya membawakan untukmu, bukan
untuk Ketaren.” Nita beranjak meninggalkanku dengan wajah sedikit kecewa
karena- Aku menolak oleh-oleh dari orang tuanya. Aku lelah dengan 12 jam selama
perjalanan, otak-ku mulai melemah, kupaksa mata terpejam, urusan dengan Nita,
nanti saja! Ku ingin bertemu se-seorang dalam mimpiku….Se-seorang yang
tiba-tiba Aku
rindukankehadirannya.***
Saat mataku mulai dapat membaca sekitarnya, wajah Ketaren muncul pertama
kali sedang serius menatap-ku sambil mengipaskan kertas hijau bermotif bunga.
Menahan rasa malas Aku mengucek mata, meninggalkan sisa kantuk yang hilang
ditelan lelap-nya tidurku.
“ Kenapa lagi Ren?pandanganmu
itu..serius amat.”
“ Emang lagi serius, romantis banget
cowokmu, gak sabar Aku mau kenalan sama cowok puitis!kayaknya tuh cowok bakat
jadi penyair muda”
Ketaren memberikan kertas hijau yang
rutin diberikan sosok yang kini selalu hadir mengisi hari-hariKu. Aku langsung
paham, pasti dari dia..
“ Lagi penasaran banget dengan si
Satiman-mu itu? kenal dimana sih?”
“ Sabaran dikit Aku mau baca ini
dulu, siapa yang ngasih tadi?”
“ bu Gotar. dua bulan nggak ketemu
gimana rasa kangen-nya tu Rhe?”
“ mau tau aja,” jawabku cuek. “nggak
perlu kau bilang aku sudah dapat menebak, kalian pasti sudah jadiankan?”
Aku memilih diam tidak ingin
menjawab pertanyaan Ketaren, bersegera menyobek dengan hati-hati surat
bersampul hijau, wangi sekali…
Pesonamu telah melumpuhkan hati yang
mulai terlena
gadis yang slama ini mengganggu
tidur sang pangeran
mengusik mimpi dengan taburan
kebahagiaan
menatapmu seakan cahaya yang mulai
redup kembali benederang
izinkah sang pengusik membuka pintu
membagi pesonanya kepada sang
pangeran
menatatapmu…se-akan menaklukkan
tingginya gunung sorik marapi
tanpa-mu..malam-ku seakan dibalut
pekat gelap tanpa suar
izinkah..sang pemilik sinar membagi
cahaya pada jalan tanpa penerang??
By-yang slalu menatap indahnya
pesona-mu
“ Senyam-senyum sendiri, benar ni
Kau nggak mau cerita?”
“Ia-ia Taren sayang..oke” mmm, aku
menarik nafas sedikit.
“ Dia itu sepupunya kak Susi, kau
kenal kak Susi kan?”
“ Ya kenal-lah, mana ada di asrama
ini yang nggak kenal Susi. Susi indriani maksudmu?Kau akrab dengan-nya
sekarang?”
Aku mengangguk, wajah Ketaren
kecewa, Ku tau dia pasti marah.
“Jangan marah, dengarkan dulu
ceritaku”
Ketaren mengambil posisi duduk
bersebelahan denganKu, serius menjadi pendengar setia curahan hati.
“ Waktu itu, Aku pulang Idul adha ke
kampung Nenek, dan se-angkot dengan Kak Susi, di dalam angkot Aku jumpa orang
se-kampung Nenek. Dia bilang kalau Nenek-ku mendadak pergi ke Bandung tempat paman-Ku,
Karena sudah terlanjur berangkat, nggak mungkin Aku pulang ke asrama, sementara
Kau tau sendiri asrama sepi liburan haji, Kak Susi mengajak ke Kampung-nya, dan
disanalah Aku kenal dia, Aku juga nggak tau kenapa dia sampai segitu-nya sama
Aku. Padahal kalau Kau melihat gadis-gadis di kampung Kak Susi, sumpah! paling
jelek yang Aku lihat level-nya Acha Septriasa. Aneh juga kenapa dia nggak cari
pacar di kampung-nya aja ya? cerita Kak Susi, dia sama sekali nggak pernah
pacaran dan jarang banget ngomong sama cewek. Padahal selama di kampung-nya Aku
jarang sekali bertemu dia bahkan berbicara dengan dia aja, bisa di hitung pakai
jari. Cuma kenalan dan salaman waktu selesai sholat id, terakhir Aku jumpa, Dia
mengantarkan Ku menunggu angkot pulang kesini, dan entah kapan Ia menyelipkan
kertas hijau seperti surat ini- di tas-Ku. Setelah itu, menjadi rutinitas
mengirimiKu puisi, cowok aneh. Rasanya tampangku tak seberapa!”
“ Nyadar juga ya bos..ha haha. Aku
senang Kau mau berbagi cerita sama Aku. Tapi yang pasti kau belum jadiankan
sama si Satiman-mu itu?” Tanya Ketaren. Aku secepatrnya mengangguk, menghindari
ceramah tanpa judul dari Ketaren. “Rhe.. ada cowok yang tentu saja cukup
berbeda menilai perempuan, bahkan ada cowok yang sama sekali nggak pingin pacaran,
sekali kenal perempuan, Ia ingin perempuan itu langsung jadi istrinya ”
“ Segitunya. Tumben bijak, dapat
kata-kata darimana neng..”
“ Dari kalimat-kalimatnya Aku yakin
itu bukan kalimat gombalan.”
“ Kali ini Kau melewatkan pribahasa
penting dalam dunia cinta..”
“ Maksudmu?”
“ Buaya tetap buaya tidak akan
bisa berubah menjadi lumba-lumba.”
“ Aku nggak paham”
“ Dasar lola. Laki-laki ya tetap
laki-laki neng..sampai kapanpun nggak bakal berubah status, artinya tukang
gombal ya tetap tukang gombal, mana ada jantan yang nggak hoby nge-gombal..”
“ hahhaha ha..Benar sekali tu, tapi
kamu senangkan..di gombalin!”Ketaren mencubit pelan pipiku yang sepertinya
merona merah.
“ Sembarangan kalau ngomong” jawabku
sedikit gugup.
“ Tapi, apapun alasannya, Aku nggak
suka Kau akrab dengan gadis genit itu Rhe. Ngerti maksud-Ku?”
“ Kau mengatakan itu karena Kau
belum mengenal sepenuh-nya siapa Kak Susi Ren.”
“ Apapun alasan-mu membelanya,
status di asrama ini tidak akan bisa mengubah keadaan, kalau dia sudah
berstempel sebagai gadis genit yang suka menggoda cowok, bahkan cowok orang aja
dia godain. Untung saja laki-laki itu sepupunya, kalau orang lain Kau bakal
terancam jadi nomor dua.” Aku memilih diam. Tidak berniat untuk adu debaat
dengan makhluk yang sudah tercuci otaknya dengan negative thinking anak
asrama terhadap kak Susi.
“ Hati-hati dengan perasaan-mu
Rhe..jangan sampai terjebak dengan perasaan-mu sendiri.” Kali ini bukan Ketaren
yang berbicara tapi Kak Nita, kata-kata-nya mengejutkan kami berdua, kupandang
Ketaren yang hanya mengangkat kedua bahu-nya. Apa tadi katanya, hati-hati
dengan perasaan-Ku!!
ASMARA DI ASRAMAKU
7 Maret 2012 pukul 21:22
BAB II
KEHEBOHAN DI HARI PERTAMA
DI KELAS TERCINTA
Hari Pertama di kelas 3, Rabu pagi
dengan sepoi angin pegunungan lembah Sorik Merapi, Aku baru selesai mandi
dengan berebut Air bersama anak asrama lainnya, membuka kain penutup keranjang,
Kain sarung hijau berpadu dengan atasan baju putih plus jilbab putih ber-renda
bermotif boneka, Aku mulai memakainya. hari ini, hari pertama masuk kelas
setelah dua bulan menjadi penghuni rumah, alias anak pingitan. Ku periksa
kembali kitab-kitab yang sudah ku-sediakan, kawakibuddariyah, al--bajury,
balagoh, ta’lim mtallim, selesai menyusun buku Aku menghampiri Ketaren yang
tengah menghembuskan angin dari mulutnya ke arah lekukan jilbab di ujung
keningnya, mulutnya sampai monyong beberapa senti ke atas untuk mendapatkan
hasil terbaik lekuk jilbabnya. Aku melihat Amalia dan Yanda melakukan hal yang
sama seperti Ketaren. Aku tersenyum geli melihat tingkah anak asrama dalam cara
memakai fashion aneh-aneh saja, cara berpakaian Amalia, membiarkan
sarung hijaunya menyapu lantai, atasan baju kurung putih yang lengannya di
lipat hingga siku, memperlihatkan cara berpakaian ala tomboy, Yanda lain lagi,
sarung hijaunya di buat pas semata kaki tapi ujung baju putihnya dilipat hingga
3 lipatan ke atas untuk mendapat kesan seksi ala Asrama.” Siapa Encik yang
menjadi wali kelas kita Ren?”
“Na’imah si penyakit ayan, kau tidak
perlu takut, semua aman terkendali”
“ Hai semua, kita pergi bareng
ya...ni ada kemek[1] dari mama-ku” Neni mendatangi-Ku menenteng kantong plastik
berisi kacang sihobuk, oleh-oleh khas porsea, menghilangkan sesuatu yang
ingin kutanya-kan tentang si penyakit ayan pada Ketaren, karena aku tidak
membaca pengumuman jadwal yang sudah ditentukan asrama. Apa ya? yang ingin ku
tanyakan pada Ketaren, kok aku bisa lupa?
“ Bagi donk…” seperti biasa, dengan
gaya cuek bebek sok akrab, Amalia menarik plastik berisi kacang kulit khas
tanah Utara dari tangan Neni yang terkejut dengan aksi-nya. Bukan Neni namanya
kalau tidak membalas aksi iseng itu. Untuk saat ini Ia membiarkan Amalia
merebut plastik berisi kacang kemek dari mama-nya, “kita liat aja
nanti..” Ia membisikkan kata-kata itu di telingaku, sambil mendengus kesal
melirik Amalia. Menarik tanganku segera berangkat menuju kelas. Aku melihat
Ketaren yang sudah siap dengan kitab ala kadarnya, kebiasaan Ketaren memang tak
pernah membawa kitab yang akan di pelajari hari ini, ia hanya membawa satu
kitab saja. Dan di kelas nanti Ia berpura-pura membuka kitab yang jelas bukan
kitab yang di pelajari. Kalau giliran-nya di beri pertanyaan oleh encik, maka
aku-lah yang harus bersiap-siap memberi jawaban dengan melempar kertas kecil
dari kaki berisi jawaban ke bawah bangkunya dan Ia akan menarik kertas itu dari
jepitan jari kakinya, jangan sampai Ia mengoleskan obat rematik ke sekujur
betis karena kelamaan berdiri. Sepertinya bukan Cuma Ketaren, Amalia juga punya
kebiasaan yang sama. Sudah tak sabar rasanya sampai ke kelas, kelas baru pasti
punya cerita baru, semoga pagi ini ada cerita cinta menarik untuk kembali ku
ceritakan pada anak cucu nantinya..waw..udah kemana-mana isi imajinasiku,
sampai pada tahap Aku sudah nenek-nenek. Tiiiit…tiiittttt
Bel berbunyi pertanda semua harus
masuk kelas, Aku dan 27 murid di kelas 3-16 berdesakan menaiki tangga menuju
lokal nomor 2 di tingkat 2, dengan gelar local kereta api karena deretan
kelas-kelas yang berderet panjang mirip gerbong kereta api, kami berlarian
segera masuk. encik Na’imah, si wajah angker dengan penyakit ayan
terberat diantara semua encik yang mengajari kami, masuk tanpa mengucap salam,
segera membanting pantatnya ke kursi yang sudah tersedia dan mulai menyorot
tajam ke seluruh penjuru kelas, hening tercipta dengan sendirinya, membuka
kitab masing-masing tanpa menunggu di komando, apakah itu kitab yang akan
dibahas atau tidak, itu tidak penting, yang terpenting semua segera menatap
kitab di depan mata, tidak anehkah..?ini Pesantren atau apa-an?tanpa
ucapan salam, pandangan dengan sorot mata se-tajam Elang se-olah kami
adalah mangsa yang akan di telan. Begitulah sikap sebahagian guru, salah
satunya adalah encik Na’imah si pengidap ayan, yang sering membuat Aku muak
jika masuk kelas.
“ Sahrani..!iqra’..kitabul
hadist, tapaddhol (semua menatap Sahrani yang segera berdiri)
Tidak ada yang bersuara semua diam,
Sahrani berdiri sambil membuka kitabnya, mulai membaca(isi kitab kuning) aku
tidak melihat Riadoh, si kocak yang suka menghibur itu belum menunjukkan batang
hidungnya, selang beberapa menit aku menangkap bayangan Riadoh di tepi jendela
pas di ujung pintu kelas, Ia mengedipkan matanya padaku, memberi kode, aku
jangan melihat ke arahnya, agar si penyakit ayan itu tidak curiga kalau Ia
terlambat datang. Seperti biasa si pengidap ayan itu berjalan mengelilingi
bangku-perbangku memeriksa konsentrasi kami, kini Ia berada di urutan bangku
belakang juga menghadap ke belakang, memberikan kesempatan pada Riadoh untuk
menyusup masuk dan langsung duduk di urutan bangku depan, kami semua menahan
senyum, kecuali Sahrani, Ia terkejut karena bangku yang di duduki Riadoh adalah
tempat duduknya, Syahrani diam sejenak, membuat encik Na’imah menuju tempat Ia
berdiri, Encik Na’imah langsung dapat membaca keadaan, Ia menatap Riadoh
curiga.
“aso isi ho, nangkin inda adong
uligin ko, git manipu jolmaon doho ha..”
Encik Na’imah naik tensi, Ia menatap
kami satu persatu.
“homu usapai, sian andigan ia adong
I son, na tarlambat sanga inda?”
“dari tadi buk…” jawab kami serempak
“dia Cuma pindah duduk ke depan ncik.”
Tambah-ku, jangan sampai Ia curiga
“assalamualaikum” tiba-tiba seorang
santri senior masuk ke kelas kami.
“maaf ncik, encik di panggil ke
kantor, ada rapat mendadak.” Kalimat si santriyati senior itu membuat kami
saling pandang dan menahan hati yang kegirangan, menanti si penyakit ayan
keluar dari kelas.
“baiklah, kalian semua saya
harap tenang jangan ada yang keluar dari kelas, hapalkan hadist yang baru
saja di baca oleh syahrani, pahimtum.”
“pahimna encik” jawab kami serempak.
Ia pun segera keluar. Suasana kelas langsung riuh tanpa control. Amalia
berlari ke tepi jendela kebiasaannya setiap tidak ada guru disusul Yanda, bukan
Cuma ke tepi jendela mereka justru masuk ke teras belakang kelas melewati
jendela nako yang sudah pecah, lubang pecahan jendela itu memberi kemudahan
bagi Amalia dan Yanda untuk masuk ke teras belakang kelas, teras itu hanya
mempunyai lebar satu meter tanpa pagar, sepertinya mereka tidak takut jatuh,
apa yang hendak mereka kerjakan? Aku menyusul ke tepi jendela, penasaran dengan
aksi yang akan di lakukan dou super nekat itu. Amalia mengeluarkan
silet dari kemben pengikat sarungnya, dan apa yang terjadi..Amalia menyayat
ujung jarinya, kemudian menyayat jari Yanda juga, mereka mulai menulis sesuatu
dengan darah yang bercecer dari jari-jari mereka ke dinding pembatas kelas.
Tidak ada yang mencegah, semua dengan senang hati menjadi penonton, aku
memasukkan kepalaku sedikit ke lubang pecahan jendela agar dapat melihat apa
yang tengah mereka tulis.
“hei.. Rhe, kau penasaran dengan apa
yang kami tulis, lihat saja kesini.”
“ayo Rhe masuk saja, aku juga
penasaran apa yang mereka tulis.” Ketaren meyusul di belakangku menyuruhku
segera melompat ke teras belakang, aku pun segera melompat, wau,….Amalia dan
Yanda menuliskan nama cowok dengan darah, gila banget. Helmi dan Iwan, itulah
nama yang mereka tulis di dinding itu, aku tidak dapat menahan mulut ku untuk
tidak berdecak takjub, selesai melukiskan nama kedua cowok itu keduanya
mengajak mataku untuk mengikuti jari telunjuk kearah dua cowok yang tengah
berdiri menatap ke arah kami, Amalia memberi kode kepada kedua cowok itu untuk
melihat apa yang sudah di tulisnya. Tapi sayang aksi itu tidak hanya jadi
tontonan kedua cowok yang namanya sudah di abadikan lewat darah mereka, kini
beberapa pokir langsung memenuhi bawah kelas kami, “hentikan Amalia, nanti
kalian di hukum” aku tidak mengetahui apakah yang berseru itu Helmi atau Iwan,
tapi aku harus menghentikan mereka sebelum si penyakit ayan datang.
“Amalia, Yanda cepat masuk sebelum
encik ayan melihat kalian. Yunita melihat si gila itu sudah ada di tangga, ayo
masuk lah..” seruku berbohong, padahal Yunita, cewek tomboy asal bagan batu itu
sama sekali tidak keluar kelas, bagaimana Ia melihat encik ada di tangga, kalau
tidak di bohongi mereka tidak akan menghentikan aksi gilanya, dan mungkin akan
ada lagi aksi selanjutnya yang mungkin lebih nekat. Berhasil Amalia dan
Yanda menyusulku masuk ke kelas,
encik Naimah membanting meja,
menatap satu persatu kearah klami matanya bereakhir ke wajah syahrani,
Sepersekian detik..Tiba-tiba sesuatu terjadi. Melepaskan Sahrani dari jerat
bacaan kitab gundul yang pasti membuat kepalanya ikut hampir gundul. “Yanda
I LOVE YOU…..”Suara jeritan membuat semua menatap ke arah Yanda yang terkejut
mendengar namanya di panggil se-seorang. Sepertinya Bukan cuma Yanda,
suara jeritan itu berakhir dengan suara riuh tawa, pasti lebih dari satu orang,
tidak lama berselang. “Amalia…aku cinta kamu..” kali ini semua menatap Amalia,
wajahnya pucat, sungguh Aku kasihan melihat mereka, encik pengidap sakit ayan
itu tidak akan melepaskan momen ini, Sahrani berhenti membaca kitab hadist,
dengan bersegera, encik dengan lekuk jilbab lipat dua di keningnya menyeret
langkah ke arah jendela yang langsung tembus ke jalan raya. Semua murid riuh
tanpa control Dari encik, mengikuti derap langkahnya yang membuat ketakutan.
Tak terkecuali Aku. Aku dan Ketaren bersegera menuju jendela melihat apa yang
terjadi dari arah bawah, tidak Cuma Amalia dan Yanda, Aku yakin para pokir itu
akan memanggil nama lain lagi, di bawah sana terdapat lebih dari sepuluh
pokir, Aku tergagap menyaksikan se-seorang di bawah sana. Bang Iman . ya
ampun..mulutku menganga terkejut. Ia memandang ke arah-ku, Aku segera melipat
tangan ke dada berbentuk permohonan memberinya kode agar jangan sampai
memanggil nama-ku, Ia mengangguk dari bawah sambil melambai tangannya, encik
Na’imah tidak akan mengetahui lambaian tangan itu untuk siapa, mengingat semua
murid kini berada di tepi jendela berdesakan melihat ke bawah. Hanya Yanda dan
Amalia yang tidak beranjak dari bangkunya, wajah mereka tunduk, lemas menanti
si penyakit ayan memberi hukuman. Aku melirik Ketaren yang pucat takut namanya
ikut di panggil, sepertinya Ia juga kasihan melihat Yanda dan Amalia.
“ Handa Yandani, dan Kamu,
Amalia Suciana segera ke kantor.”
Tanpa komentar dan tanpa menolak
dengan berbagai alasan, Yanda dan Amalia beranjak dari bangkunya, keluar kelas
menuju kantor Sekolah di ikuti encik Na’imah dari belakang, baru beberapa
langkah, suara nyaring pokir iseng itu kembali terdengar, kali ini: ”Taren Aku
kangen…sama kamu!!kita jumpa di tempat biasa ya!!!” Aku menganga spontan,
menatap wajah Ketaren yang seputih kapas, malang tak dapat di tolak, mata tajam
si penyakit ayan mengisaratkan Ketaren ikut ke kantor, Aku berlari ke
arah jendela sebelum sesuatu kembali terjadi, Aku melihat bang Iman hanya duduk
di serambi makam di tepi jalan raya, Ia melihat Aku dan membuat kode dari sandi
tangan-nya agar Aku jangan takut, karena dia tidak akan melakukan hal bodoh
seperti yang dilakukan pokir iseng terhadap Amalia, Yanda dan Ketaren. Aku
tersenyum, membalas Sandi tangan dengan memberi 3 jari tengah dan lekuk huruf K
, yang artinya “AKU CINTA KAMU” sekarang si penyakit ayan sudah beranjak menuju
kantor, jadi.. bebas melakukan apa saja, sebab pelajaran ditutup, season
pertama tanpa guru. Momen yang menggembirakan bagi sebahagian murid, Bagaimana
nasib Ketaren, Aku mencemaskan mereka. Apakah leher ketiga teman se-kelas ku
itu akan di gantungi bacaan cari jodoh?. Aku harus mencari akal
agar membebaskan mereka dari jerat hukum si encik ayan itu. Tidak hanya
sekali ini saja encik error itu menghukum dengan se-suka hatinya, Sahrani
pernah mengalami yang lebih sakit dari hukuman di permalukan, di fitnah di
hadapan direktur Sekolah, dengan menuduhnya menghina guru. Hanya gara-gara
Sahrani tidak menawarkan payung yang Ia punya pada si penyakit ayan saat Ia
tengah kehujanan, sebab Sahrani juga membutuhkan payung tersebut, tapi encik
Na’imah berpendapat guru harus lebih dulu dari murid, biarkan Sahrani kehujanan
asal guru tidak kehujanan karena guru harus di hormati dan dihargai,
didahulukan kepentingannya daripada murid. Pasal yang aneh se-aneh undang-undang
Guru versus Siswa yang sudah diatur di pesantren ini!Aku mondar-mandir bak
setrika sepersekian menit tak ada ide yang cocok muncul di pikiranku, siapa sih
pokir-pokir itu? Aku melihat Neni sedang menyantap rujak dengan santainya,
biasanya kantin memang tujuan pertama jika momen tanpa guru terjadi, biasalah
kebiasaan sarapan kelupa-an atau sengaja di lupakan, Neni menghampiriku.
“ Mau rujak..?
“ Nggak mood.
“ Mikirin Ketaren?
“ Bukan Cuma Ketaren Nen..
“ Jangan bilang kalau kamu juga
mikirin si Amalia yang sok tenar, sok laris, sok kecakepan, sok..
“ Nen..
“ Kenapa?salah?
“ Nggak. Kamu nggak salah, mungkin
ini momen yang baik buat kita mengubah karakter Amalia yang membuat teman-teman
menilai dia dengan Negatif, orang kan bisa berubah.
“ Jangan sok baik
“ Bukan sok baik Nen, coba kamu
berada di posisi dia, gimana rasanya?bukan-nya kamu pernah mengalami hal yang
di alami Yanda, Amalia juga Ketaren. Ketaren itu teman kita Nen..
“ Trus emang-nya kita mau ngapain?kamu
kenal si sakit ayan itu kan?mana mungkin kita bisa membebaskan mereka, setelah
selesai asar nanti leher mereka akan tetap digantungi label cari jodoh…paling
juga jadi tontonan gratis para pokir..”
“ Yah..itu dia Nen. Aku nggak izin
pokir-pokir itu bisa ketawa terbahak-bahak melihat tontonan gratis itu. Kau
ngerti maksud-ku.”
Neni menggeleng. “ kita harus
mencari akal untuk membebaskan mereka. Kamu punya ide?”
Kedua kalinya Neni menggeleng.
Keningnya berkerut tanda mulai berpikir. Tiba-tiba.
“ Aku ada ide Rhe..bagaimana kalau
kita menjumpai Ustazd Farhan atau Ayah[2] Amir Hamzah, gimana Rhe?
“ Jenius…yuck.” Aku langsung
mendadak mendapat inspirasi untuk mengadukan keji-nya starategi pembelajaran si
encik Naimah. Bersegera menuju kantor para guru laki-laki yang sangat
pro-patayat. Didalam kantor ada Ustazd Farhan, Ayah Amir juga ada. Aku membaca
salam dan sedikit tak sabar menerobos masuk.
“ Ada apa nak?
Kami di sambut Ayah Amir Hamzah yang
mengerjitkan keningnya menatapku heran, nafas-ku rasanya sesak ingin secepatnya
mengadukan belang si encik ayan, tapi nyata-nya tak ada kalimat yang keluar
dari mulut-ku, Aku hanya diam begitu juga Neni. Kami hanya Menunduk-kan kepala
tidak mengerti apa yang harus dilakukan.
“ Ada apa Rhena..? kedua kalinya
Ayah Amir menanyaiku. Jantung-ku tiba-tiba tidak kompromi, berdesir mendidih
menahan luapan emosi kebencian yang rasanya ingin ku-ingat seumur hidup-ku tapi
rasanya ada yang tersumbat di kerongkongan-ku, terlalu banyak kalimat yang
ingin ku sampaikan. Tanpa berani ku-keluarkan. Retina-ku mulai mengambang,
pikiranku melayang setelah sholat Ashar, Yanda, Amalia dan Ketaren akan menjadi
pajangan di pelataran kantor sekolah menghadap lokal laki-laki. Aku benci itu,
tiba-tiba tanpa bisa ku bendung air mata merayap menyentuh pipiku, Aku
menangis., meratapi ketidakberdayaan lidah-ku menyatakan kalimat pengaduan.
“ Duduk dulu nak, minum?pelan-pelan
saja bicaranya, ayo sekarang kamu tarik nafas dulu.”
Ayah Amir memberikan-ku minum,
menuntun ku untuk mengendalikan sesak yang menyumbat segala kata yang ingin
terucap. “ Sudah
lega?”
Aku mengangguk memandang ke arah Neni yang hanya menunduk menggosok-gosok
kuku-nya tanpa sebab jelas, mungkin..menghilangkan galau yang melintas.
“ Ketaren Ayah…Ketaren, Yanda,
Amalia me..mereka mau di hukum Ayah!”
“ Siapa yang mau menghukum?”
“ Si penyakit ayan Ayah.” Ceplosku
tiba-tiba, Aku menutup mulutku dengan apa yang baru Ku-ucapkan. Neni menatap
terkejut dengan aksi ceplosku.
“ Si penyakit ayan.??!maksud kamu
siapa Rhena?”
Aku menunduk tanpa bisa terbendung
airmataku menjawab semuanya, Aku menangis sesunggukan.
“ Neni..
“ Ia Ayah..
“ Ada apa dengan Rhena? siapa yang
dimaksudnya?”
“ Encik Na-imah Ayah.”
“Na’imah?” Tanya Ayah Amir
mengulang nama yang di sebut Neni, aku mengangguk.
“tenanglah Rhena, ayah akan
bicarakan ini. Kalian kembalilah ke local, insya Allah tidak akan terjadi
apa-apa dengan teman-temanmu.”
“terima kasih ayah.”
Aku menyeka sisa airmata, bahagia
rasanya mendengar kata-kata ayah Amir, semoga mereka terlepas dari hukuman.
BAB III
MALAM SELASA MALAM YANG PANJANG
Kutanya Malaikat. “kau catatkah
apa yang terlintas dalam pikiran manusia”
Malaikat menjawab. “tentu saja
tidak ada yang terlewatkan dalam catatan-ku”
“Kalau begitu catatan-mu untuk-ku
pasti penuh dengan nama seorang wanita hari ini dan mungkin juga hari-hari
seterusnya sampai dia selalu ada disisi-ku”
Malaikatpun melihat catatan-nya.”
RHENA AL-HASANAH” nama yang terpajang disetiap lembaran catatan malaikat
untuk-ku
Pukul 04 Sore. Tiiiiiiiiiiit bel
panjang pertanda pelajaran usai. Weekend di mulai..Aku mengulang setiap detail
baris kalimat di kertas hijau yang diberikan Ibu pedagang gorengan yang setiap
senin datang ke-asrama. Ada yang berdesir di dada-ku setiap ku ulang kalimat
tulisan indah-nya. Bang Iman hapal betul jam Ibu gorengan berjualan, aku
melihat ketika Ia memberikan surat bersampul hijau pucuk pisang dari
pinggir pagar pembatas jalan raya. Dengan tidak sabar aku menyongsong Bu Gotar,
menerima Surat dan bersegera membacanya, aku sampai lupa mengucapkan terima
kasih pada Ibu yang selalu baik dengan para patayat itu, Ia hanya tersenyum
saat Aku mengucapkan terima kasih sementara langkahnya sudah berada pada tangga
terakhir menuju asrama. Bagi anak sekolah sabtu adalah hari yang
paling di tunggu, tidak bagi kami. Senin-lah hari yang di tunggu, karena selasa
adalah hari libur. Aku mulai mengendap diantara pepohonan coklat yang tumbuh di
sisi local kelas dua yang langsung berhadapan dengan kantor, melirik si penjaga
pos piket keamanan, buncit kayak baru makan mangsa. Satu demi satu langkah
mulai menuruni anak tangga, berhasil, Aku bersembunyi disisi dinding, dua ruang
kelas pembatas sebelum sampai ke pos piket keamanan, merancang ide kabur dari
asrama, tapi rasanya musatahil Aku akan berhasil menyusup diantara wali murid
yang datang menemui anak-nya, satpam buncit itu pasti mengenali-ku. Tidak ada
cara lain, Bang Iman harus lebih sabar menunggu si buncit makan malam, saat
makan paling mudah mengelabui-nya yang memang rakus, apalagi malam, pasti dia
sudah kelelahan. Aku masih bersembunyi diantara dinding local, mulai berjalan
mengendap menuju kantor Sekolah yang berada tepat di belakang pos keamanan, Aku
mulai menimbang-nimbang, apakah Aku akan berhasil melompat pagar yang berada di
belakang kantor sekolah saat si buncit nantinya makan. Langsung berguling
kebawah, aku akan sampai tepat di bibir jalan raya, semoga angkot bermerek
anatra yang sering kutumpangi lewat pada saat bersamaan, jadi tidak membuat si
buncit curiga. Sial sekali memang, mengingat Kak Susi sudah berangkat dari tadi
siang, dan Ia menungguku di Desa-nya, salah satu desa yang punya ke-unikan
tersendiri dengan berbagai tradisi dan adat istiadat yang sukar ku mengerti
karena terkadang tradisi di desa itu tidak masuk akal.(bersambung cerita
tradisi) kalau saja aku kelas empat, pulangnya lebih awal, tidak seperti
ini, ternyata memang enak ya! kalau sudah se-level dengan anak SMA, bisa kabur
lebih cepat. Kresek…ada bunyi plastic disamping kantor.
“ Rhena..
Suara serentak dua patayat
mengejutkanku, berpaling menatap mereka, ah…ternyata Yanda dan Amalia.
Sepertinya mereka mau kabur juga.
“ Yanda..Amalia. kalian mau kabur?”
“ Emangnya mau nungguin pancur .”
Amalia menjawab asal
“Seharusnya kami yang nanya, kau mau
kabur Juga? Tumben! cewek lugu berani kabur.” Apa tadi kata-nya, cewek lugu.
Aku tidak salah dengar-kan.
“sudahlah amalia. Pasti seru kalau
kita kabur bertiga! Oh iya Rhe, Aku mau ngucapin terima kasih udah menyelamatkan
kami dari hukuman” Yanda menyalamiku tersenyum bersahabat dan dengan senang
hati mengajak-ku kabur bersama.
“Kau mau kabur kemana Rhe?”
“Ngak Kemana-mana, Cuma mau ke
kampung, jumpa Nenek.”
Kalimat o…panjang keluar dari mulut
kedua-nya, syukurlah! Aku tidak ingin ada yang tau kalau aku mau jumpa bang
Satiman. aku tidak percaya mulut mereka bisa di ajak berdamai. “ Kamu mau
kenal pacar-Ku?” Amalia mengajak mata-Ku mengikuti jari telunjuk-nya. “ Namanya
Zulhelmi anak medan, cakep-kan!?” Aku tersenyum mengangguk, meski sebenarnya
Aku sama sekali tidak melihat jelas apa yang di tunjuk oleh Amalia, hanya sosok
yang lewat di depan kami dengan wajah tertutup serban, bagaimana Aku bisa
mengenali pacar-nya. Selanjutnya, bang Iman mondar-mandir di samping pagar
pembatas perpustakaan menuju sungai di pinggir jalan lintas. Melihatnya seperti
itu, Sudah tidak sabar rasanya Aku melompat pagar besi di depan-Ku ini.
“ Kenapa cowok itu ngeliatin kita
terus ya..” Amalia menunjuk Bang Iman, sepertinya mereka lupa kalau mereka
pernah melihat foto-nya di dompetku.
“ Aku nggak kenal, Kau kenal dia
Rhe?jangan-jangan itu pacarmu, Kau bohongi kami?”
“ Aku nggak kenal.” Jawabku gugup.
Ah..aku paling benci dengan kebohongan.
“ Kau tidak usah takut Rhe.”
“ Takut maksud kalian?”
“ Kau takut mulut kami ember bocor,
kami berhutang budi padamu”
“ Tidak perlu formal seperti itu,”
“ Kau tidak membenci kami Rhe,
seperti patayat lain-nya?”
“ Sudahlah..jangan bicara yang aneh
lagi, bukankah sekarang kita sekamar? Kenapa harus saling membenci.’
“ Kalo begitu katakan apa laki-laki
yang melihat kesini itu pacarmu?salahnya aku tidak memperhatikan jelas waktu
melihat fotonya, kalau tidak aku pasti mengenalinya.”
“ Bukan, mungkin hanya perasaan
kalian saja dia melihat kita, namanya juga laki-laki mungkin dia merasa aneh
kita berdiri bertiga disini.”
Bertahan dengan bau busuk parit
buangan toilet kantor, duduk membosankan selama dua jam, menunggu Muazzin
mengumandangkan azan, matahari mulai mendarat di pelataran, Gelap mulai
merambat, dengan setia cowok 19 tahun itu menanti-ku di tepi jalan raya, kami
bertiga mengintip bersamaan ke arah si Buncit yang beranjak dari kursi
panasnya, mengunci pos keamanan. Menyalakan senter, mulai menyorotkan sinar
senternya, kami merapatkan tubuh ke dinding kantor, jangan sampai sinar
senternya menyentuh salah satu tubuh kami. Sesuatu terjadi, hampir saja aku
menjerit, Yanda dengan sigap menutup mulutku, binatang berbisa berkaki seribu
tepat disisi jempol kiriku, sinar senter berulang-ulang menyorot kearah
dinding kantor, Suara kresek kaki Amalia yang dengan emosi menginjak binatang
melata itu pasti membuat si Buncit curiga, kami semua menahan nafas, sinar
senter semakin dekat, pelan tanganku membuka pintu toilet, beringsut kami
bertiga masuk. Berdiam sekitar lima menit, kami dengan jelas mendengar suara
gembok yang di tekan ke induknya bersentuhan dengan pagar besi, nyaring
terdengar. “aman sekarang, si buncit sudah pergi” Yanda melongokkan kepalanya
dengan berani keluar dari persembunyian. “Aman” ucap Amalia sekali lagi, ketika
mata kami dengan jelas melihat si buncit tancap gas dengan motor tuanya. Tak
sabaran aku langsung melompat pagar pembatas kantor dengan jalan raya. Meluncur
sempurna. Plok..tubuhku mendarat keras di rerumputan pinggir jalan.
“ kau nggak papa Rhe..” bersamaan
Amalia dan Yanda menghampiriku, yang menyusul ikut melompat, tersirat cemas di
wajah mereka.
“aku nggak papa kok.” Malang sekali,
Bang Iman mendatangi kami. Kacau..
“Rhena?jatuh!Rhe nggak papa? “ Udah
tau nanya, kesal sekali kenapa bang Iman datang saat tak di undang.please
pergilah, jangan sekarang.
“kau bohongin kami Rhe…” angkot
Anatra melintas, dengan cepat bang Iman menyetop laju angkot. Aku memilih diam
saja, mengikuti bang Iman masuk ke dalam angkot. Tidak mengacuhkan pandangan
heran Amalia dan Yanda.
“tunggu bentar Rhe!” Yanda menahan
pergelangan tanganku. “kau mau kemana?aku berjanji tidak akan membocorkan ini,
tapi tolong katakan kau mau kemana?jika terjadi sesuatu yang darurat disini
kami bisa menghubungimu.”
“aku mau ke desa aek badak, kalian
boleh datang. Sorry aku bohongi kalian.”
“nggak papa. Kami Cuma ke
panyabungan kau bisa jumpa kami di taman baca yang ada disana.”
“makasih..” aku segera melompat ke
dalam angkot. “jangan beritahu Ketaren ya…” jeritku diantara laju mobil. Yanda
mengangguk pertanda Ia masih mendengar suaraku.*********
Desa Aek badak jae…! Ucapkan welcome
padaku.
“ assalamualaikum nek..kak Susi”
“waalaikum salam..Rena..” kak susi
menjerit memelukku gembira. Puas tertawa Ia baru ingat sesuatu.
“ hei…masuk!kau tidak sedang memberi
makan nyamuk kan, Iman?”
Bang Iman tersenyum tersipu. Ah
senangnya aku melihat senyum itu.
“kenapa malam sampainya?kalau tidak
salah dari tadi siang Iman menghilang dari kampung ini, kakak sudah yakin pasti
dia ke pesantren, menculikmu.”
“kakak bisa aja. Nunggu si buncit
kelur dari pos keamanan. Belum makan ni..boleh Rhe makan?”
“udah duduk aja disamping
pengeranmu, udah kakak siapin makan kalian. Tinggal duduk aja tuan
putri.”
“jangan gitu donk nyambutnya, jadi
nggak enak.”
Sembari membantu kak susi menyiapkan
makan malam,
“Rhe..
Bang Iman memanggilku. “duduk
sini..biar susi saja yang nyiapin makannya!”
Bosan. Menunggu suaranya keluar, aku
benci kesunyian. Hidangan siap untuk disantap, tapi sosok yang ada disampingku
ini hanya diam saja. Hingga nasi dipiring habis semua masih sepi. Aku menyusul
kak susi ke dapur.
“kak?!”
“kenapa Rhe?mau bantuin kakak
nyupir, nggak usah.tungguin aja pangeranmu, katanya lagi kangen berat!”
“ia, Rhe tau,kalau kangen kok diam
aja. Rhe kan pusing.”
Raut ingin menertawakanku terpancar
lucu dari wajah kak susi, menggelengkan kepalanya kemudian berubah menjadi
senyuman manis.”kakak tau kalian baru dua bulan pacaran dan baru berapa kali
jumpa, tapi kamu jangan bingung gitu, kamu harus belajar mengenal dia Rhe.”
“Rhe nggak ngerti.” Kak susi
sepertinya ingin mengatakan sesuatu tapi matanya menyorot ke arah bang Iman
yang sedang asyik menatap monitor televisi, mungkin memastikan bang Iman
tidak mendengar kami.
“Iman itu terlalu sayang sama kamu.
Jangan tanyakan alasannya, karena kakak tidak tau apa alasannya.”
“Rhe tau kak. Asal ketemu..Cuma diam
doank. Kan! Rhe nggak ngerti harus ngapain.” Kak susi mengelus kepalaku
“dia nggak pernah kenal perempuan Rhe,
seperti dia mengenalmu.”
“tapi Rhe merasa bang Iman seperti
teman Rhe yang lain, nggak kayak orang pacaran kalau ketemu, tapi kalau sedang
ngeliatin Rhe, yah...”
“tu paham.”
“maksudnya?”
“dari kecil kakak mengenalnya, anak
pertama dari sebelas bersaudara laki-laki semua, membuat dia dewasa sebelum
waktunya, kamu paham maksud kakak?”
“yah, Rhe cewek pertama yang jadi
pacarnya, dan dia sama sekali tidak mengerti bagaimana membuat perempuan merasa
dinomor satukan, karena saudaranya semua laki-laki. Karena dia merasa masih
banyak yang harus diperhatikan, dan masih banyak hal lain yang harus dinomor
satukan, selain Rhe kan. Meskipun dia cinta mati sama Rhe, itu kan maksud
kakak.”
“Iman beruntung dapat istri secerdas
kamu.”
“belum jadi istri, kakak gimana sih,
Rhe masih bingung ni.”
“oke. Yang harus kamu tau, Iman itu
terlalu sayang sama kamu sampai-sampai dia nggak bisa berbicara kalau jumpa
kamu. Dia juga pasti sedang bingung mau ngomongin apa sama kamu. Terkadang
cinta itu bisa membisukan lidah, ingat nggak sama lagu zamrud 30 menit?.”
“sampai segitunya, kakak nggak
bohong kan?”
“ya ampun,adikku sayang percayalah
sama kakak mu ini, yang kakak takutkan kamu yang ninggalin dia, terus dia
stress, eits bunuh diri kayak di film-film, sereem ah…”
“becandanya jangan terlalu seram,
bikin Rhe takut.”
“udah pergi sana jagain nyamuk
pangeranmu.”
Aku menuruti permintaan kak susi
menghampiri bang Iman dan duduk di samping orang yang membuat aku betah tinggal
di kabupaten yang berjarak lebih dari 300 kilo meter dari kampungku.
“mau ikut jalan-jalan?” dengan cepat
aku mengangguk****
Jangkrik saling bersahutan memecah
kesunyian malam, beranjak 30 menit dari suara azan isya, hembusan angin malam
menyentuh lembut wajahku, dingin menyusup ke kulit ku yang biasa
dengan terik panas matahari. Kejora berkerlip ditemani senyum
indah separuh bulan, menyinar di antara pepohonan kelapa yang saling menjulang
diantar rumah panggung penduduk desa, langit mulai merajuk pada malam,
sepertinya sebentar lagi awan akan memuntahkan tabungan airnya, senyum ramah
bulan separuh terusik, dengan mendung yang muncul tiba-tiba diantara kerlip
kejora, bulan tidak akan marah pada awan gelap yang mengusiknya,
kejorapun sudah tidak ingin berkerlip menghilang ditelan mendung malam.
Sepersekian menit dalam sunyi.
“kangen nggak sama abang?”
Pertanyaan klise, seharusnya ia
mengatakan: abang kangen sama Rhe. Sambil menggemgam tanganku, atau
menatap wajahku. Yang ada ia menatap jauh ke ujung pucuk pohon
kelapa. Dasar cowok dingin..
“Rhe. Kok diam aja?” “kangen nggak?”
aku diam tidak menjawab pertanyaan yang menurutku akan dilontarkan anak yang
baru lulus Sekolah Dasar dan baru dapat pacar. Bukan terlontar dari seorang
pemuda dewasa berumur 19 tahun, Aku sengaja menyenggol tangannya, sigap bang
Iman menangkap tanganku. Menatap wajahku. Mempererat genggamannya. Mata teduh,
hidungnya sedang, ditambah bibir-nya yang hitam selalu menghipnotis pikiranku,
setiap tersenyum menambah bacaan error pada otakku, bang Iman bukan seorang
perokok meskipun bibirnya hitam seperti para perokok, bahkan Ia paling anti
dengan bau rokok, itu adalah salah satu dari sekian banyak alasan aku sangat
mencintainya, dan berharap kelak selamanya selalu mencintainya. Kenapa
bang Iman menatapku seperti itu?tatapannya serasa aku tidak ingin pergi
dari sampingnya, aku memejamkan mataku, merasakan benarkah Ia menyayangiku?
sekian menit hanya angin bertiup menerpa dingin wajahku. aku membuka mata, Ia
tidak bergeming masih tetap dengan sorot mata yang teduh memandang wajahku,
matanya menyirat kesedihan, mulai memerah dan bulir bening mulai berjatuhan
dari matanya, menyentuh lembut telapak tanganku, membuat aku bingung ada apa
dengan dia?
“Rhe.” Aku mengangguk menyentuh
lembut pipinya, menyeka sisa air disudut matanya.”abang kenapa?jangan membuat
Rhe bingung?”
“kalau kita berjauhan, kamu sabar
ngak nungguin abang?”jeda sejenak
“Suatu saat jika abang jauh, dan
pergi dengan jangka waktu lama, ada yang datang ke kamu, dan mencintai kamu,
apa kamu menerimanya? ”
“jangan berbelit-belit, Rhe nggak
ngerti. Kalau abang sayang sama Rhe pasti abang nggak bakal ninggalin Rhe”
“tapi abang memang harus pergi.”
Kini air matanya kembali berjatuhan, Ia menangis sesunggukan memelukku erat,
membuatku semakin bingung.
“jangan buat Rhe bingung bang,
jangan bilang kalau abang mau pergi ninggalin Rhe.” Ia menyeka paksa air
matanya yang tidak mau berhenti mengalir. Aku merangkulnya berusaha memberi
ketenangan walau aku sendiri sangat tidak tenang.
“sekarang tenanglah, ceritakan sama Rhe
apa yang membuat abang seperti ini.” Aku panik luar biasa, delapan kali bertemu
selama empat bulan pacaran, dan ini adalah kali pertama kami bertemu setelah
dua bulan liburan sekolah, dan aku pulang ke kampung halaman selama dua bulan
itu. Tiba-tiba sekarang! perdana dalam jumpa kami, wajahnya menyiratkan hal
yang sulit ku mengerti, pikiran negative yang muncul pertama di otakku,
mungkinkah bang Iman punya pacar setelah dua bulan berpisah karena aku harus
pulang ke kampung halaman-ku. Dan kini air matanya seakan ingin mengatakan
kata-kata “putus” hanya Ia sulit mengucapkannya. Mataku mulai memanas,
Retina-ku mengambang, menahan genangan sungai kecil yang sebentar lagi akan
mengalirkan bulir airnya ke pipiku. dan besar kemungkinan kata-kata ingin pergi
jauh hanya alasan semata.
“Ye………berhasil…” jeritnya kocak
sambil tertawa mencubit pipiku. Aku terkejut bingung, semua yang di pikiranku
buyar. Retina yang sedari tadi menahan luapan air mata jatuh juga.
“apa-an sih, abang sengaja
ngerjain Rhe biar nangis?”
“Ia!!.hmm, kangen liat Rhe nangis..”
Ia tertawa terbahak-bahak sampai-sampai air matanya keluar menahan geli, puas
menertawakan kebodohanku, yang tidak mengetahui acting-nya.
“nggak lucu..jeleeeek.” ih..kesalku
mencubitnya keras.
”abang jahat…kesaaaallllll, apa
maksudnya akting nangis segala, mau ikutan audisi jadi actor ha? ” tanyaku
berkacak pinggang, lucu juga sandiwaranya. Ia mengucek jilbabku, sudah berhenti
tertawa, kali ini senyam-senyum menatap wajahku yang mungkin akan membuatnya
tertawa lagi.
“ maaf donk..bolehkan?” Ia
merangkulku, membetulkan letak jilbabku yang tidak beraturan lagi bentuknya.
“kalau nggak di maaafin gimana?”
“nggak papa, yang penting apa yang
di hati kamu, abang udah tau, hmm lucu juga liat kamu nangis, pertama waktu mau
liburan, waktu itu abang masih takut kamu punya pacar di kampung tapi nangis
yang kedua kali ini udah menjamin kalau kamu….
“apa?” aku mempelototinya, ia
kembali tertawa.
“sayang sama abang..dan abang tidak
akan takut di tinggalin he..mm abang percaya seratus persen sekarang.”
“oooo..jadi aktingnya itu mau
nge-test Rhe aja ya?awas ya..Rhe balas” aku mengepal tinju, Ia menangkap
tinju-ku
“tangan kecil kayak gini belagu,
ninju semut aja belum tentu menang.”
“ih..layas ya sama Rhe.”
“jangan galak-galak donk, ntar kalau
udah jadi mamak-mamak wah cerewetnya udah kayak nenek-nenek. Sekarang aja
galaknya udah kayak mamak-mamak. Awas cepat tua”
“biarin..Aku mau pulang, aku nggak
suka perasaan aku di tes-tes segala, kayak orang mau ujian lulusan aja.
Terserah mau sayang mau tidak aku nggak peduli, aku mau pulang.” Aku beranjak
melepaskan pegangan-nya dan berjalan cepat, kali ini bang Iman bengong,
terkejut dengan reaksi-ku. Sedikit tak percaya Ia mensejajari langkahku.
“kamu marah Rhe?” aku tidak
menyahut, terus melangkah tanpa memperdulikannya.
“Rhe..!! Ia menarik paksa tanganku,
menghentikan laju langkahku.
“maafin abang, demi Allah aku nggak
punya maksud apa-apa. Maafin aku Rhe. Please jangan pulang, aku masih...
Kalimatnya terpenggal, bang Iman
sudah memanggil dirinya dengan sebutan aku, berarti.. Ia sudah menganggap
serius keadaan, lama terdiam aku tidak sanggup lagi menahan tawa yang
mengendap. Langsung terbahak-bahak melihat ekpresi serius-nya.
“kena…” jeritku. “satu sama.”
Wajahnya linglung, dan mulai menguasai keadaan, Ia pun tertawa. Melihatku yang
terbahak-bahak menggelikan.
“jadi kamu…
“maaf boleh donk..” pintaku
mengulang kalimatnya yang tadi.
“mmm..Ia, dasaar jahil, senjata
makan tuan.” Aku tersenyum penuh kemenangan, puas membalas acting gilanya,
siapa suruh nge-tes air mataku segala, senang sekali rasanya melihat orang yang
kita sayangi mengeluarkan air mata untuk kita, mugkin begitu juga yang Ia
rasakan hingga Ia ingin sekali melihatku menangis karena takut kehilangan dia,
aku tidak bisa melukiskan perasaanku saat ini. Bahagianya…!!!akankah
selamanya????
“kita keliling yuck, disana lagi ada
keyboard, pasti rame..”
“nggak ah, Rhe nggak suka keramaian,
apalagi acara konser kayak gitu..sumpek”
Sebenarnya bukan konser, hanya orgen
tunggal, di kampung-kampung seperti kampung bang Iman acara yang biasanya di
gelar hanya ketika ada hajatan pesta, kebetulan yang punya pesta adalah orang
berduit, biasanya akan mengundang orgen tunggal dan penyanyi local, bahkan yang
ku dengar orgen tunggal yang biasa di sebut kibot oleh orang kampung adalah
lambang harga diri ketika orang tua akan menikahkan anaknya.
“Cuma liat-liat doank kan nggak
masalah, sekalian teman-teman abang mau kenalan, tadi abang dah terlanjur
janji sama mereka buat ngenalin kamu.”
“ntar ada yang naksir Rhe gimana?”
“ih..GR..” bang Satiman mencubit
pipiku.
“oke deh, tapi kita jangan lama-lama
ya, Rhe pengen keliling kampung trus makan tahu isi pake kuah miso.”
“pasti, sekalian satu warung di
borong buat kamu.”
“itu namanya marah.”
“ya enggak lah. Apapun permintaan
kamu selagi aku mampu memberikannya akan ku berikan.”
“kalau Rhe minta abang marah, mau
nggak?” tanyaku berbisik
“apa aku bisa marah?kamu mengunci
amarahku dalam hal apapun Rhe.” Jawabnya pelan di telingaku.
“termasuk kalau Rhe
selingkuh.”godaku menyikut lengannya
“kalau itu…” Ia berpikir sejenak
“aku akan marah, tapi bukan sama
kamu, aku marah sama diriku sendiri, kalau kamu selingkuh berarti aku yang
salah, aku tidak bisa menjaga hati kamu.” Ia menggemgam tanganku, tersenyum
manis!
“emangnya apa sih yang membuat abang
sayang sama Rhe?kan disini banyak cewek yang lain, baik, dan cantik-cantik
lagi...kenapa tidak memilih salah satu dari mereka.” Godaku menatap lucu
wajahnya.
“aku mau kamu, bukan yang lain.” Ia
mempererat genggamannya. “kamu sendiri kenapa sayang sama abang? Ada alasan
tersendiri, kok mau aja di culik sama orang kampung kayak abang ni..” Tanya-nya
balik.
“mmm..apa ya..jawab nggak ya?”
“jawab donk..”
“pertanyaan Rhe nggak abang jawab,
kan Rhe duluan yang nanya, apa alasan abang kok bisa sayang sama Rhe?”
Ia menatapku lembut, bola matanya
jernih menghanyutkan, kami saling pandang. Di tatap seperti itu Jantungku
berdegup kencang, rasanya darahku berdesir lebih dari seribu kali dalam waktu
satu menit, nafasku seakan berhenti, sesak di kerongkongan.
“jangan liatin Rhe kayak gitu donk,
GR ni…” rajukku menutup wajahnya dengan telapak tanganku, Ia langsung
menangkap tanganku yang menempel di wajahnya.
“tidak ada alasan apapun untuk
sayang sama kamu, yang ku tahu satu alasan..karena kamu Rhena. Rhena sekarang
dan Rhena seterusnya..” Ia berbisik di telingaku, mengecup keningku lembut,
menyetop semua kata-kata yang singgah di kerongkonganku. Aku terharu, mataku
memanas, kali ini tidak sandiwara, aku memang ingin menangis, menangis bahagia
karena aku bisa mencintai laki-laki yang juga mencintaiku, ternyata..dia lebih
romantis dari apa yang aku kira, aku tersanjung dengan kata-katanya.
Tidak ada yang bisa ku katakan lagi, wahai waktu…berhentilah sejenak! Aku tidak
ingin semuanya cepat berlalu.
“hei…kok melamun?” aku tersipu,
tersadar dari lamunanku.
“Rhe sayang sama abang, sampai
kapanpun..!”bisikku di telinganya.
”Ia..abang tau kok, yuck jalan..”
Ia menarik tanganku, merangkul
pundakku, mengajakku mengitari keindahan kampung, nyaman sekali rasanya..sambil
berdiam diri kami terus berjalan menyusuri rumah-rumah panggung menuju tempat
manusia yang sedang riuh mendengarkan orgen tunggal. Aku menatap langit yang
semakin gelap, rintik mulai berjatuhan.
“sepertinya hujan!”
“belum hujan, masih rintik kok.”
Jawabnya menahan kekawatiranku.
“hei..Satiman, alak bagasmu
de.i?”satu, dua, tiga ada lima cowok mendekati kami, sepertinya teman bang
Satiman.
“Rhena..” aku menyebutkan namaku
menyalami mereka satu persatu, sedangkan mereka hanya senyam-senyum menyikut
usil lengan bang Satiman, tanpa menyebutkan masing-masing namanya.
“kau bisa di panggil KPAI tuh Man..”
cowok berkulit putih memakai lobe putih mengatakan itu tepat di telinga bang Satiman
dan jelas aku dengar.
“maksud-mu? Jawab bang Satiman.
“melarikan anak di bawah umur.”
Tawanya berderai disambut bareng ke-empat kawannya. Aku menunduk malu, sedih
sekali rasanya, aku di anggap gadis kecil yang belum pantas di jadikan pacar.
Bang Satiman menatap wajah sedihku bergantian mempelototi teman-temannya, aku
menahan bendungan yang hampir merembes ke pipiku, aku tidak mau terlihat
cengeng dihadapan mereka.
“dari pada kalian! jangankan anak di
bawah umur nenek-nenek pun nggak ada yang mau sama kalian.” Cibir bang Satiman
membalas canda-an kawannya yang keterlaluan itu, membela hatiku yang
perih. Gerimis mulai semakin deras, disambut gelegar halilintar, namun penonton
yang datang semakin ramai.
“pulang yuck..?!” ajak-ku pelan,
tapi ku yakin bang Satiman mendengar suaraku.
“maaf ya dek!yang tadi Cuma becanda
kok, masa sih gara-gara ngomong kayak gitu, langsung merajuk.” Yang ngomong
cowok hitam, keling kayak negro.
“nggak marah kok, Cuma ngantuk aja.”
Jawabku nge-less
“ya udah, kita pulang. Kami duluan
ya.” Pamitnya, sikut-menyikut itu masih berlangsung ketika kami hendak
beranjak, aku masih sempat mendengar bisikan teman-nya yang pakai baju merah.
“keren body-nya Man..cari-in aku donk! tapi yang persis kayak gitu, biar awet
muda, kan dapat daun segar…!” aku melihat bang Satiman tidak menghiraukan
kata-kata bermaksud menyindir jarak usia-ku dengannya, aku membiarkannya
membimbing tanganku menjauhi keramaian manusia yang semakin malam semakin ramai
menonton acara orgen tunggal. Kami akhirnya sampai ke rumah kak Susi, duduk
lesehan di teras rumah yang berada tepat di belakang kelas inpres, satu-satunya
Sekolah Dasar Negeri di desa ini.
“Marah?”
“sama siapa?”
“yang tadi?”
Aku
menggeleng...........(bersambung)
No comments:
Post a Comment