add page element

Thursday 5 September 2013



DI BALIK TABIR AYAT CINTA
5 Juli 2010 pukul 21:28
Prolog

Sudah dua tahun aku menjadi penghuni asrama, banyak kejadian-kejadian yang kulalui, berbagai kisah terjadi di Pondokan ini, pondokan yang dikenal dengan nama Pesantren Musthafawiyah, tempat berbagi kisah suka dan duka, dan dukanya lebih mendominan menurutku, selama empat semester tidak ada cerita indah yang menarik untuk ku ceritakan, sepertinya, semester ini akan banyak cerita indah bagiku, seorang cowok dewasa mendekati-ku, lebih tepatnya menyukai-ku, tidak munafik, aku juga menyukainya. sebenarnya! Meski terkurung bagai terpenjara,  Akulah yang bersi- keras untuk bersekolah disini, Lembaga Pendidikan yang menempati urutan pertama siswa  terbanyak di seluruh Indonesia bahkan waktu mendaftar saja Aku menempati no induk 94043, berarti hampir 100.000 murid yang sudah menjadi santri. Padahal, fasilitas di Pesantren ini tidak secanggih pondokan Gontor salah satu Pesantren Modren dengan segala kemodrenannya yang ku kenal  juga memiliki banyak santri.  Berawal dari keinginan hidup mandiri, Aku sendirilah yang meminta pada orang tuaku untuk bersekolah di Pesantren yang setiap pagi mengharuskan Aku sarapan dengan sepotong tempe dan se-sendok cabe. Dulu sekali, Aku berhayal yang indah-indah tentang pesantren yang akan mengurungku selama tujuh tahun, kamar dengan spring bed empuk, sungai yang mengalir indah, guru yang ramah, perkebunan coklat, manggis, durian, dan duku sungguh kebun indah di belakang asrama yang menjulang diantara pegunungan Sorik Marapi, gunung yang punya seribu cerita magic, hampir setiap hari ku dengar cerita menarik dari gunung keramat itu, pegunungan yang diapit bukit barisan yang megah terkadang menyeramkan bagi para santri yang ingin menaklukkan ketinggiannya,  meskipun penuh dengan cerita seram, para santri laki-laki merasa belum sempurna menjadi santri di Pesantren jika belum menaklukkan  ketinggiannya, bertolak belakang dengan santriyati yang lebih suka menyembunyikan telinga di balik bantal dari pada mendengar cerita magic plus mistis dari gunung keramat itu.  Menaklukkan ketinggian gunung keramat itu adalah satu dari sekian hayalan tingkat tinggiku, satu lagi hayalan tingkat tinggi-ku, bertemu banyak teman  dan cowok “idaman”  / idaman menurut pikiranku tentunya. Tidak ada satupun dari hayalku ada di asrama ini, semua berbalik arah, kamar dengan papan berumur puluhan tahun, hanya ber-alas karpet itulah spring bed empuk sebenarnya, Guru yang setiap hari bermuka asam dengan kerutan jeruk purut di wajah perawan tua_nya, kebun…yah!memang ada kebun di belakang asrama_sesuai hayalanku, tapi jangan harap bisa bersenang-senang melepas lelah disana, yang ada peraturan tak tertulis “ barang siapa mendekati kebun indah di belakang asrama maka bersiaplah menyambut aroma toilet di kanan asrama” bagaimana dengan teman..?!Aku harus bekerja-keras untuk beradaptasi dengan penghuni yang super heterogen, majemuk, plural apalagi namanya? Aku tidak bisa memberi istilah yang pas untuk kemajemukan yang ku_temukan. Seharusnya perlu ada Ralat persepsi atau Ralat depenisi tentang asrama Pesantren, sebab tidak semua yang ada di pesantren ini serba religius termasuk individunya, dari data statistik yang Aku punya 45% anak asrama di “campakkan” kemari oleh orang tuanya karena ber-stempel sebagai anak bermasalah baik dari psikologi maupun intelijensi bahkan bermasalah dengan hal ekonomi, termasuk juga bermasalah dengan “penyakit lingkungan” ( kenakalan remaja, narkoba, dan kenakalan-kenakalan lainnya) tujuan orang tua mereka simple saja, anaknya terbebas dari segala yang membuat sakit kepala mereka, jadi ustazd atau jadi apa saja boleh asal jangan menyusahkan mereka, semua orang tua takut struk memikirkan anak-anaknya, begitulah keinginan orang tua yang terima bersih urusan pembelajaran. Apakah aku menyesal telah terbuang di asrama ini? Aku belum menemukan jawabannya, mungkin jawaban itu akan ku temukan setelah aku tidak lagi menjadi penghuni asrama, “ilmu yang kau dapatkan akan menemui keberkahannya ketika kau menjadi alumni” begitulah jawaban yang sering ku dengar dari para senior, rasanya aku mulai betah dengan segala macam peraturan  yang sangat tidak meyenangkan, apa ada peraturan yang menyenangkan? kalau peraturan dan undang-undang adallah suatu hal yang menyenangkan maka tidak akan ada koruptor di Negara ini, yah..!aku mulai betah. Karena semua peraturan sudah terbiasa ku jalani, biasa melihat adegan hukuman angkat batu, biasa melihat anak asrama di hukum dengan spanduk berisi kata-kata memalukan yang digantungkan dileher, biasa dengan adegan hukuman tamparan yang membekas di pipi terdakwa kasus pacaran, bahkan terbiasa makan hanya berteman lauk bakwan goreng tanpa cabe, semua berjalan begitu saja. Menjadi rutinitas setiap hari yang harus dilalui. Untuk makhluk-makhluk yang se-kelas denganku, Ada Amalia asal Pekanbaru, cewek centil mengaku manis berlagak sok selebritis kolektor cowok yang super kolektif, yang sangat bangga dengan tahi lalat di bawah bibirnya, selanjutnya!ada Yanda dengan aksen medan yang kental, wajahnyq!penasaran?!Copi-an Sarah Azhari dengan tubuh langsing berkacamata minus, mata sedikit menceng (besaran mata kanan dari pada mata kiri, tentu kalau yang melihat secara mendetail ke arah mata yang katanya sudah menghipnotis tujuh cowok dalam satu semester). mereka berdua sebenarnya bagaikan bumi dan langit, Aku juga bingung kenapa manusia yang selalu beda pendapat itu bahkan sedikit sering berperang bisa akrab sekali, bahkan jadi gunjingan seantero Asrama karena aksi-aksi nekat mereka dalam menggaet cowok yang menurutku aneh. Cowok di  koleksi?anehkan?!!mungkin itulah salah satu alasan Amalia dan Yanda menjadi dua cewek yang cukup berbeda di antara Anak asrama dan menjadi sahabat dengan karakter langit dan bumi, bahkan  bersaing untuk selalu digosipin. Ada juga Riadoh, cewek kocak turunan mandailing tulen, berasal dari pedalaman desa longat, salah satu perkampungan yang menyisakan kisah perang zaman Belanda, tidak akan ada yang menyangka setelah hutan ber-puluh kilo meter dilalui, ternyata ada beberapa rumah penduduk, disanalah si kocak yang suka melawak dilahirkan ibu-nya, masih banyak lagi nama kawan se-lokal yang tidak perlu kuingat dan kutuliskan, hanya menghabiskan kertas dan memori otakku saja, bagiku mereka tidak penting, karena sifat anak asrama yang mendominasi meski tidak semua tapi itu tadi, “dominan”, alias kebanyakan “mementingkan diri sendiri, ember bocor, cemburuan, kompetitif dalam hal cowok” aku tidak suka terlalu banyak teman,   aku dapat membaca karakter mana saja yang bisa ku jadikan teman.  Selama empat semester, adaptasiku berjalan lancar, hanya Ketarenlah satu-satunya cewek yang menjadi teman akrab_ku. Ia juga yang selalu Iri pada Ketenaran Yanda dan Amalia yang super sensasional, sebenarnya Yanda dan Amalia cukup baik untuk dijadikan teman mengingat mereka juga punya karakter yang blak-blakan seperti Ketaren. Meskipun sudah empat semester satu kelas. aku belum dekat apalagi akrab dengan mereka. Oh..ya ada yang terlewatkan! Susi Indriani nama sosok yang akan selalu ku kenang nantinya, gadis manis berpostur semampai alias semester tak sampai, bermata teduh sedikit mengundang kesedihan, itulah yang terbaca olehku ketika memandang wajahnya, rambut panjang berombak hingga lututnya, gigi putih berderet rapi, jika tersenyum bisa saja menghipnotis makhluk yang bernama cowok dalam waktu satu menit saja, bahkan banyak penduduk asrama yang menggosip miring, mengatakan: Kak Susi pakai pesugihan pemanis, jelas gosip yang tidak  masuk akal. Gadis yang selalu membuat aku percaya diri, semangat, tidak putus asa, mengenalkan arti kedewasaan, mengerti betapa sakit-nya kehidupan yang Broken. Ibu-nya bercerai ketika Ia masih dalam kandungan, bagaimana mungkin wanita hamil diceraikan? Tapi itulah kenyataannya, aku tidak mengerti mengapa masih saja ada laki-laki yang tega meninggalkan tanggung jawabnya, setelah Ia lahir, sang Ibu-pun menyerahkankan Susi bayi kepada nenek-nya, kemudian merantau menjadi TKI Di Negeri jiran Malaysia. Kisah yang dramatis, Aku selalu menangis jika Ia bercerita tentang sakitnya hidup tanpa orangtua. “mending sekalian jadi anak yatim piatu Rhe..daripada hidup punya orang tua tapi seperti yatim piatu” begitulah yang selalu dinyatakan Kak Susi padaku jika Ia sedang galau, ku tahu dia punya jiwa yang berbeda dari anak asrama kebanyakan. Jiwa-nya yang terkadang labil tidak mampu dalam mengendalikan apa yang tengah dihadapinya. Bahkan Ia pernah begitu merindukan ayahnya hingga Ia ingin bunuh diri, dengan menjatuhkan diri dari tingkat tiga asrama putri, untung saja aku mampu merayunya untuk tidak melakukan aksi nekat itu, aku tidak memberitahu siapapun aksi bunuh diri itu termasuk pada encik[1] asrama, aku tidak bisa membayangkan betapa hancur hatinya menahan kerinduan untuk sang ayah selama bertahun-tahun tanpa mengenal wajahnya. Untuk itu aku hadir berbagi duka yang Ia rasakan, mekipun beresiko akan ikut terkena getah dari ketidak sukaan anak asrama pada Kak Susi “Kau adikku satu-satunya Rhe..suatu  saat jika aku berbuat salah, jangan pernah benci padaku.” Itu adalah kalimat yang acap kali Ia ucapkan. Sampai hari ini aku tidak mengerti apa maksud ucapannya, mungkin Ia mengetahui kalau dirinya menjadi orang yang terasing di asrama, dengan sebab keterasingan  itu pula, wajar rasanya jika Ia menjadi manusia dengan karakter yang “suka-suka”(suka memamerkan senyum centil terhadap para pokir[2], suka membasahi bibirnya meski tidak sedang sariawan, suka menatap ayah-ayah[3] dengan serius seolah-olah Ia tengah jatuh cinta). Dan masih banyak lagi sikap “suka-suka” yang rasanya malu untuk ku ceritakan. Terlepas dari segala kejelakan sikapnya, Dialah yang mengenalkanku pada sepupunya, sepupu kak Susilah yang ku katakan sebagai laki-laki yang menyukaiku dan mungkin aku juga mulai menyukainya, sosok laki-laki bertubuh atletis, berambut sedikit ikal, yang hingga kini masih ku sembunyikan statusnya, bahwa aku dan Dia sudah resmi berpacaran, dan aku tidak ingin ada yang mengetahui ini semua  termasuk Ketaren. Sebab, Ketaren memandang tingkah laku Kak Susi yang sering mengundang gosip miring, menjadi nilai minus untuk dijadikan teman apalagi sahabat.  Sejak awal semester di asrama, banyak peraturan yang tidak tertulis yang wajib dipatuhi. Beberapa peraturan yang sangat memuakkan tentunya kusimpan dalam memori otakku, aku tidak ingin ada hukuman yang tidak berlandas logika terjadi padaku, seperti yang terjadi pada santri lain, selama libur semester aku menyiapkan diri untuk berbagai ancaman peraturan asrama dengan memperbaiki diri agar jangan sampai tersandung kasus yang menurutku sangat tidak setimpal dengan hukuman yang akan dilalui, contoh beberapa kasus yang sangat tidak masuk akal dengan memberikan hukuman sama tidak masuk akalnya :
  1. Menjadi terdakwa gadis genit alias nakal dengan hukuman ditampar plus dipermalukan oleh seluruh staf senior dari organisasi se-kampung. hanya karena menerima surat dari santri laki-laki…sungguh suatu dakwaan yang aneh. Yang ngasih surat siapa?kadang juga tidak di kenal. Terdakwa dilarang megajukan  alasan apapun apalagi pembelaan. Surat cinta dianggap sebagai pintu gerbang menuju zina, aneh sungguh aneh. (kak Susi Indriani adalah  pelanggar utama hingga Ia dia asingkan dari sosialisasi asrama) yang melanggar disebut dengan minus susila.
  2. Terbukti berjumpa dengan lawan jenis, bersiaplah untuk di isolasi dikamar pengasingan yaitu kamar kamboja dan terdaftar sebagai pemegang kartu kuning, artinya jika sekali lagi berbuat, maka kartu merah akan di terima, alias drop out dari Pesantren.
  3. Yang memakai kain sarung melewati mata kaki ketika masuk kelas atau berpergian akan menjadi terdakwa sebagai bandit asrama, di cap sebagai santri yang tidak patuh pada peraturan, bersiaplah untuk selalu menjadi bahan gunjingan seantero Pesantren dan di perkirakan akan masuk daftar buronan yang akan dicari kesalahannya, meski tidak berbuat salah. (Hal ini yang paling sering dilakukan Amalia dan Yanda)
  4. Yang pandai bersilat lidah dia akan selalu mendapat pujian sebaliknya jika berani blak-blakan dan protes terhadap hukuman, bersiaplah untuk mendapat lima jari manis encik Hanna Chaniago. (kalau tidak salah! nama yang suka dengan peraturan ini adalah Cahaya permata, kawan se-lokalku yang super cari perhatian, yang tidak ingin ku ingat sedikitpun cerita tentangnya)
  5. Sendal maupun kain basahan mandi, yang terletak di tangga atau tidak berada pada tempat tidur milikmu maka siapapun boleh memakainya, dan dilarang protes.
  6. Barang siapa namanya pernah di panggil cowok saat jam pelajaran atau saat guru menjelaskan pelajaran dan mendengar seseorang dipanggil tanpa sebab jelas. Bersiaplah di permalukan dengan leher di kalungi karton bertuliskan “cari jodoh” (Neni Klefistra dan Ketaren  pernah mendapat hukuman ini)
Yang ku tulis dan yang kusimpan di memori otakku hanya beberapa peraturan yang tidak tertulis di kantor Sekolah, melainkan peraturan yang terbentuk sendiri oleh zaman per zaman, tidak ada yang ingin mengubahnya bahkan hari ke hari-hari semakin berkembang, ANDAI SAJA AKU BISA MENGUBAHNYA…dan Ketaren termasuk salah satu pelanggar peraturan nomor satu, sebab yang ku ketahui selama dua semester di kelas dua, Ketaren sudah dua kali di permalukan di depan umum dengan leher digantungi tulisan “cari jodoh”. Walau aku sahabatnya, aku tidak mengetahui sama sekali mengapa Ketaren suka melanggar peraturan. Semester lalu  Neni Klefistra dari kisaran yang pernah mengalami hal yang sama dengan Ketaren mulai mengakrab_kan diri pada aku dan Ketaren, siapapun yang se-nasib denganmu dalam hal hukuman maka Ia spontan akan menjadi sahabat karibmu, begitulah prinsip persahabatan ala asrama, prinsip yang  sepertinya tidak akan bisa di ubah oleh siapapun termasuk zaman apapun dan se-modren apapun zaman-mu, karena aturan turunan akan tetap abadi di asrama, kalau ingin melenyapkannya sepertinya hanya ada satu cara, asrama ini plus Pesantren ini harus di lenyapkan juga.(mana mungkin). Aku lupa!Satu lagi nama yang bernasib sama dengan Ketaren, Elfrida asal porsea bermata sipit dengan aksen batak padahal aslinya keturunan indo china. Tentang Ketaren!!dengan nama yang indah Derma Sari Ketaren gadis bermata lentik berdarah karo tulen, ber-asal dari sebuah pintu gerbang menuju kota medan, Desa Galang pinggiran kota Lubuk pakam Kabupaten Serdang bedagai, Aku ingin sekali berlibur ke kampungnya, mengingat Ketaren sering bercerita tentang Pantai cermin yang indah di sudut Kota tempat Ia menghabiskan liburan bersama cowok idamannya, sebenarnya Aku tidak percaya Ketaren punya pacar, siapa sih laki-laki yang mau dengan rambut keriting kering, pirang dan Ketaren juga bukan tipe cewek yang lembut alias Feminim, sebaliknya, Ia tomboy. suka asal ngomong, tanpa memikirkan sakit hati lawan bicara, memberi pelajaran berharga bagi anak asrama yang pelit, dengan menyembunyikan sambal untuk makan malam, berani menentang guru manapun, termasuk encik Hanna Chaniago, si wajah angker dengan gelar perawan permanen.! yang dua kali pernah menamparnya tanpa sebab yang jelas. Dan aku bukan pelanggar peraturan, paling tidak selama empat semester aku bebas hukuman, Ketaren akrab dengan ku bukan karena kami pernah sama-sama di hukum, tapi karena Ketaren selalu berharap isi otakku tumpah di atas meja belajarnya, Terlepas dari kejelekan yang Ketaren punya, Ia punya sisi baik yang berbeda dari cewek asrama kebanyakan, suka menolong dan dengan mudah menghamburkan uang kiriman orangtuanya, dalam waktu seminggu demi mentraktir kawan se-kamar di kantin asrama dan menceritakan tentang penghasilan orang tua-nya dari hasil Kelapa sawit yang berhektar-hektar, bahkan Ketaren sering meminjami_ku duit tanpa meminta di kembalikan. Aku sering berhutang budi  pada kebaikannya, itu adalah salah satu dari sekian alasan mengapa aku jadi begitu akrab dengan makhluk pencemburu itu, hutang budi adalah alasan lain selain dari aku sebagai operator jawaban. Semoga akan ada cerita menarik semester ini, yang akan kuceritakan pada anak cucuku nantinya *****

BAB I
ASRAMA PUTRI MUSTHAFAWIYAH
Huh lega rasanya, Akhirnya sampai juga aku ke Desa santri ini. Tempat yang lebih dikenal dengan sebutan Penjara Suci, yah..disebut dengan penjara karena akan mengurung para santrinya selama enam bulan alias satu semester, ditambah kalimat suci karena di penghuninya adalah jaka-dara yang masih belia, perawan tulen plus jejaka tulen yang tinggal terpisah, bersama rombongan patayat-patayat[4] yang mulai memadati asrama dan mencari kamar yang sudah di booking sebelum liburan usai, tidak ada penempatan kamar yang permanen, siapapun boleh menempati kamar manapun bahkan ada istilah turun temurun di asrama, “siapa cepat dia dapat” jadi, bisa memilih kamar yang di inginkan,  diantara riuh manusia aku mencari Ketaren,  kami berjanji untuk se-kamar lagi semester ini.
“Hai…lagi cari Aku ya…?sini..ada yang mau Aku bilang! Penting.sebelumnya kau jangan lupa dengan rencanaku?”
“Mengenai kakak senior yang galak tu?”
( ketaren menarik tangan-ku ke sisi kanan kamar 5 mawar )
“ Bukan Cuma itu. Kita se-kamar dengan Yanda dan Amalia…kau harus mempersiapkan cowok keren untuk dikenalkan pada mereka  sebelum kau di bilang katrok..atau cewek nggak laku..”
“ Aku nggak takut..”
“ Mereka itu bandit asrama..lebih bandit dari pasukan tuan kapoor bahkan lebih sering curang dari aku Rhe.. kau mau tau kejahatan apa saja yang pernah mereka perbuat..aku perincikan ya..
  1. Pernah belanja di Waserda[5] sebanyak mungkin dan membayarnya dengan seribu rupiah. Belanjaannya di sembunyi-in di dalam parit yang ada di samping kiri waserda.
  2. Kabur dari asrama demi jumpa cowok yang sama sekali tidak cakep.
  3. Selalu punya utang di kantin manapun di asrama ini.
  4. Pernah memalsukan tanda tangan Encik asrama demi menonton pameran di Aek godang
Aku menarik tangan ketaren menuju kamar yang sudah kami tandai sebelumnya menjadi kamar kami, kamar 3 mawar.
“ Itu tingkah mereka.bukan kita, Kau paham.”
Ketaren mengangguk, tidak membantah, dari pertama mengenalnya Ia selalu mengalah bak pembokat yang patuh pada majikannya, tahu kenapa?takut tidak Aku beri contekan dan jawaban pertanyaan! kalau-kalau encik  berwajah jeruk purut memberinya pertanyaan, yang apabila tidak di jawab! bersiap-siap mengantongi obat rematik karena kelamaan berdiri di atas bangku. Padahal aku sangat yakin Ketaren juga pernah melakukan penipuan jumlah belanjaan-nya di waserda, Ketaren mulai membentang karpet 2x1 yang baru kami beli di pasar kamis berjarak 10 kilometer dari Asrama, jarak itu bisa menjadi sangat dekat jika Amalia dan Yanda menaklukkannya dengan berlari subuh-subuh melompat pagar asrama, kabur dari acara mencuci beras, bersembunyi saat sholat berjamaah berlangsung, demi jumpa cowok yang menurut Ketaren  berada di urutan ke 80 di bawah Milian Radovic salah satu personil kesebelasan Persib yang menjadi idola kami berdua. Betapa hancurnya tu wajah!! Apapun tingkah laku yang selalu di tunjukkan oleh Amalia dan Yanda, sama sekali tidak menyurutkan niatku untuk akrab dengan mereka, jangan sampai Ketaren tahu hal ini, bisa ceramah habis-habisan, aku suka dengan karakter berani yang mereka punya, meskipun sangat sering mengundang hukuman. Aku dan Ketaren mulai menyiapkan keranjang pakaian, menyusun dua papan yang di gantung diantara dua tempat tidur 2x1 m2 kemudian menaruh koper tempat penyimpanan makanan di atas papan tersebut, sembari Ketaren mulai menabur kapur ajaib yang telah di giling ke sudut-sudut tempat tidur, membasmi kepinding[6] yang mulai merayap. Aku mulai  menyusun pakaian ke dalam keranjang, aku menempati tempat tidur tengah, sedangkan Ketaren menempati tempat tidur paling bawah, sepertinya di atasku belum ada yang mengisi, tempat tidur tingkat tiga yang hanya bisa sedikit miring kanan miring kiri, tanpa kasur empuk, membawa kasur juga salah satu larangan keras, dua tahun menjadi penghuni asrama belum ada yang berubah dalam peraturan, santri yang mondok di larang membawa lemari, pakaian hanya di perbolehkan di taruh dalam keranjang, alasannya cukup diplomatis, menghilangkan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, di asrama juga dilarang untuk berpamer-pamer Ria, disini tidak ada makhluk yang ber-sendal Fladeo, Yongki komaladi apalagi tas ber-merk Louis Vuitton, untuk kitab-kitab yang akan dibawa ke lokal yang beratnya mencapai 5/kg hanya ditaruh diatas dua tangan dan mendekapnya di dada, banyak juga para santri yang hanya menenteng kitab disudut tangan kanan seolah ia hanya tengah membawa dompet seberat beras untuk makan seminggu. semua serba sederhana, untuk berpergian dan masuk kelas, cukup dengan memakai sandal jepit yang sudah di beri tanda sesuai tanda yang di inginkan, tujuannya simpel saja, agar jangan sampai tertukar dengan sandal jepit kawan.  
“ Kita harus menambah kapur ajaibnya Rhe. kepinding disini sepertinya baru melahirkan massal saat kita liburan.”
“ Ada di tas-ku bisa kau ambil, sengaja ku beli satu kotak..biar sekalian ke neraka tu kepinding.”
Ironis memang, mengingat penghuni disini kalau berkumpul dan batuk bersama bisa mengguncang se-Kabupaten, tapi sayang fasilitas sangat minim. Tidak ada yang protes dengan keadaan pesantren, wali murid sekalipun, bahkan orang tua santri kebanyakan sangat menyukai keadaan serba minim ini, termasuk orang tua-Ku, alasannya! belajar menjadi miskin adalah salah satu pembelajaran jiwa untuk mengerti arti kehidupan. Duh…terlalu mendramatisir kadang-kadang. Tapi kemana Ketaren kok dari tadi hening cipta. Aku menghentikan bersih-bersihku melongokkan kepala melihat apa yang terjadi dengan Ketaren di “kasur empuknya”
“ Mulai menyembunyikan sesuatu dari Aku Rhe..”
Ketaren memamerkan dompetku yang di dalamnya terpampang manis foto se-seorang, Aku gelagapan, sebenarnya aku tidak ingin ada yang tahu meskipun itu sahabat seperti Ketaren. Meski sudah lama bersahabat tapi aku masih belum mempercayai mulut-nya akan bisa diajak kompromi. Apalagi jika foto itu ketahuan Yanda dan Amalia, bisa panjang cerita-nya..
“ Wau…cowok baru ya?kok nggak ngasih tau ckckkkk”
Benarkan. Baru saja ku pikirkan, Yanda dengan se-enak perutnya merampas dompetku, “wah….Amalia punya saingan ne..udah berapa dapatnya dalam satu semester…?” ceme’eh sinis, Aku tidak menyahut ke-isengannya.
“ Kembalikan dompetku..” tarikku kembali merampas dari tangannya.
“ Udah punya anak berapa tu cowok, kalau di liat sih kayaknya sudah beranak dua ha hhahha”
“ Ngakak ja…siapa yang beranak dua?”
Amalia datang, menaiki tempat tidurku menuju ke atas, rupanya Amalia menempati tempat tidur tepat di atas-ku.
“ Pacarnya Rhena MUTU alias muka tua ha hahaha” ingin sekali Aku membalas ucapannya tapi Ketaren menarik tanganku duduk di tempat tidurnya.
“ Apa karena takut di hina kau menyembunyikannya..”
“ Apa kau kira aku seperti itu.”
Tentu saja aku menyembunyikan-nya, peraturan tak tertulis telah menjadi pengalaman buatku, Se-angkatan Kami tidak ada yang pacaran dengan kakak kelas atau yang lebih umur di atasmu. Selera brondong dan pacar sebaya sepertinya bukan hanya  ada pada kalangan artis, tapi asrama ini juga punya selera yang sama dengan para selebriti. Yanda sendiri pernah di sukai kakak kelas senior, Sukri Albani asal medan, kalau Yanda menerimanya menjadi pacar Ia harus bersiap-siap menjadi bahan tertawaan, mendapat gelar “selera om-om”  padahal hanya selisih sedikit umur. Alasan itulah Yanda tidak menerimanya sebagai pacar. Begitu jugalah sosok yang ada di dalam dompetku. Sosok laki-laki sudah sangat dewasa menurutku.  Terpaut empat tahun dengan usiaku yang sekitar 6 bulan lagi baru menginjak 15 tahun.
“ Jujurlah..!apa kalian pacaran? kenal dimana? kenapa selama ini kau nggak ngasih tau kalau kau sudah punya pacar? Jangan sampe ketauan kakak kelas tujuh foto ni, kau bisa kenak panggil encik Hanna Chaniago. Siap-siap dengan segala resiko isolasi”
“ Namanya Satiman, lebih tepatnya Satiman Nur Batubara. Kelas 3 STM  Padang sidempuan, dia menyukaiku-bukan aku yang menyukainya. Aku tidak takut isolasi bahkan kalau sampe Aku berhenti dari Pesantren! itulah yang ku inginkan, kau mengerti. Titik.”
“ Kalo Kau tidak menyukainya, ngapa kau simpan fotonya di dompetmu?”
“ Kau lupa kita sekamar sama siapa?. Cewek belagak laris yang semester ini akan pensiun dari gelar cewek terlaris di asrama ini. Kau paham maksudku?”
“ Kata-katamu bukan alasan semata kan Rhe..Aku mengenalmu”
“ Ren, kau bilang kau mengenalku. Kali ini apakah wajahku menandakan sebuah kebohongan?”
“ Sedikit..sulit dipercaya, matamu memancarkan kau sedang bahagia, itu saja yang membuat Aku heran, jangan berbohong padaku, katakan?apa kau menyukai-nya?bukankah seharusnya menjadi satu kebanggaan, kau di sukai cowok yang tidak satu sekolah dengan kita. Ini nilai plus Rhena..”
“ Apa kau lebih peduli dengan si Satiman-ku itu daripada Musthafa Goas??”
Berhasil. Pertanyaan-Ku mampu mengalihkan perhatian pertanyaan Ketaren. Ketaren mencubit pipiku, matanya menatap se-seorang dan mengacungkan jempol kiri yang tersembunyi di belakang punggungnya, Aku bingung…kebingunganpun segera terjawab.
“ Hai Rhe kita sebelahan tempat tidur..dari dulu Aku ingin sekali se-kamar denganmu, Ketaren bercerita banyak tentangmu, bagaimana kalau kita sepermakanan.[7]
Aku tersenyum menyambut tawaran gadis manis berlesung pipi berbadan mungil yang tiba-tiba muncul diantara Aku dan ketaren, Aku melirik ketaren yang kali ini mengacungi jempol kanannya  untuk-ku dari balik punggungnya, Ia segera beranjak meninggalkan-ku. Nita Juliana, sepupu dari ketaren menyalamiku menghentikan sementara keingin tahuan Ketaren tentang sosok itu. Nita baru saja sampai dari kampung halamannya, Aku tidak begitu mengenalnya, tapi Ia begitu mengenalku, dia kakak senior yang galak, begitulah pendapat Ketaren, Ketaren pernah di tampar karena kedapatan surat-suratan dengan pokir[8] tepat jam pelajaran. Sekejam itukah cewek manis berkulit sawo matang dengan aksen medok karo yang kental ini?!dan sekarang ia memintaku untuk berbagi tempat makan, makan bersama-sama dengan waktu yang sama, piringnya boleh kupakai, piringku boleh dipakainya, barangnya barangku juga, Aku bebas memakai apa saja kepunyaannya, begitu juga sebaliknya. Sebenarnya hal yang menyenangkan jika ada orang yang menawarkan satu tempat makan dengan kita, berarti Ia sangat mengagumi kita, untuk acara makan, kami harus antri di dapur umum dengan membawa termos nasi masing-masing, ukuran nasi yang di berikan cukup dengan satu setengah cangkir plastik yang sudah menjadi takaran. Kata guruku kalau makan terlalu berlebihan mudah terserang penyakit, bahkan kata Ayah Amir “pangkal segala penyakit itu ada di perut, kalau takaran perutmu berlebih atau kurang maka persiapkan tubuhmu untuk menjadi sarang penyakit” untuk urusan pembelian lauk: jika ada yang minta sepermakanan dengan-mu, itu akan meringankan acara pembelian lauk, karena bisa di bagi alias di kongsi, jadi lebih hemat, Begitulah asrama yang sempat membuat Aku be-berapa kali ingin segera cepat lulus dan cepat menikah ops…tunggu dulu! benar adanya, Aku memang punya cita-cita menikah muda, bukan Cuma Aku, Ketaren, Neni bahkan Elfrida punya cita-cita yang sama, jika “Bkkbn” mengetahui cita-cita kami, kamilah pelopor utama yang membumi hanguskan program yang di rancang “Bkkbn” menikah muda. Selain itu semua, asrama punya aturan sendiri dengan pergaulan dan tata cara makan yang berbeda dari asrama cewek lainnya, siapapun yang mengagumi-mu bahkan ingin dapat tebeng ketenaran darimu, maka Ia akan mengajakmu se-permakanan, Ada sesuatu hingga Aku mengiyakan tawaran Nita, semata-mata ingin melindungi Ketaren dari segala macam aturan senior versus junior yang sudah mendarah daging di asrama ini. Ketaren bilang Kak Nita-nya itu sangat mengagumiku dan selalu membanding-bandingkan Aku dan Ketaren, plus ketika Aku masuk menjadi finalis matan jurmiyah[9] semester lalu dan menjadi pemenang hafiz I’rab Ia semakin menyanjungku. Masih kata Ketaren! dengan ber-akrab-akrab dengannya, jalan cinta Ketaren akan mulus tanpa hambatan, semester ini Ia sedang dekat dengan se-seorang yang satu angkatan dengan kami, Namanya sudah ku sebutkan tadi, Goas lebih tepatnya Musthafa Goas, cowok berkulit sawo matang bertubuh jangkung berwajah sedikit tirus, pemuda dari pinggiran kota medan sebuah desa yang dikenal dengan sebutan batang kuis, masih cerita Ketaren padaku, desa itu juga terkenal dengan pantainya yang indah. tentu saja kami tidak satu kelas. Sebab, undang-undang yang sudah tertulis laki-laki dan perempuan dilarang bertemu apalagi satu kelas, “haram total”  meskipun banyak jalan menuju Roma istilah anak asrama, artinya banyak tekhnik mencari cinta Pesantren, seperti yang dilakukan Yanda dan Amalia jika jumpa gebetannya, akan ku ceritakan tekhnik yang dilakukan Amalia nanti ya! Patayat dan pokir hanya bisa berjumpa jika ada urusan organisasi sekampung, artinya hanya sesama teman sekampung atau teman dari daerah asal saja yang boleh berjumpa, walaupun begitu kawan satu tempat asal bisa dijadikan mak comblang he..he, kembali ke Ketaren, Ketaren berjanji akan membayar Spp-ku dua semester kalau Aku dekat dengan Nita dan dengan mudah mencuci otak sepupunya itu dalam berbagai hal yang memuluskan sesuatu yang Ia rencanakan. Semacam sogokan, Nah ternyata sogok-menyogok sudah mendarah daging di tubuh manusia Indonesia termasuk di asrama dengan segudang ilmu agama, bahkan Aku. Rhena Al-hasanah santriyati asal kota Duri, sebuah kota kecil di lingkup provinsi Riau, penghasil minyak terbesar dengan kekayaan alam yang berlimpah. Tapi tidak membuat Aku dan keluargaku ikut menjadi kaya. Setidaknya Aku dapat bersekolah di sekolah ber-asrama dengan fasilitas yang serba minim ini sudah membuat orangtuaku sungguh sangat bersyukur, kata mereka, sekolah sederhana dengan kemegahan dan kemewahan ilmu yang tidak terkira yang akan kudapatkan.Duri adalah salah satu ladang minyak di Provinsi Riau. Ladang Minyak Duri telah dieksploitasi sejak tahun 50-an dan masih berproduksi oleh PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI). Bersama Minas dan Dumai, Duri menyumbang sekitar 60% produksi minyak mentah Indonesia, dengan rata-rata produksi saat ini 400.000-500.000 barel per hari.

Minyak mentah yang dihasilkan, meskipun tidak sebaik lapangan minyak Minas, merupakan salah satu minyak dengan kualitas terbaik di dunia[rujukan?], yakni Duri Crude. Pada bulan November 2006, Ladang Minyak Duri atau Duri Steam Flood Field mencapai rekor produksi 2 miliar barel sejak pertama kali dieksplorasi pada 1958. Untuk menunjang produksi ini, di Duri terdapat puluhan perusahaan kontraktor, mulai dari yang besar seperti Schlumberger, Halliburton, dan Tripatra-Fluor, hingga perusahaan kontraktor-kontraktor kecil.
(bersambung)
“ hai..kau melamun apa?jangan bilang kangen sama mama, kita kan baru datang, oh ya..Kalau kau setuju sepermakanan sekarang semua barang-barang dapur mu taruh di koper-ku aja ya!”
“oke..aku setuju!tapi Ketaren juga makan sama kita kan?”
“ya iyalah, aku di suruh organisasi kami untuk menjadi kakak asuhnya, sebenarnya aku lebih suka mengasuhmu Rhena.”
“alasan kakak apa?”
“aku suka saja.”
Nita Juliana mengambil barang pecah belahku dari tas keranjang bahan pandan yang di berikan ompung-ku, dan menyatukan barangku di kopernya. Sebenarnya aku sangat mengetahui alasannya mengajakku sepermakanan, ia akan merasa bangga jika pertandingan Muharram fair akan datang aku menjadi pemenang lagi, maka dengan bangga Ia akan mengatakan aku adalah adik asuhnya dan sepermakanan dengan dia. Cuih..lagu lama para senior untuk tebeng ketenaran. Ini demi Ketaren!! Aku melirik Nita yang sibuk menuyusun piring-piringku ke dalam kopernya, kemudian beringsut menuju tempat tidur Ketaren, aku belum bilang…kalau di Asrama ini tidak ada rak piring, apalagi microwave, yang ada koper yang biasa di pakai untuk pakaian beralih fungsi menjadi rak piring, sedangkan keranjang yang kami pasang antara dua papan kecil menjadi tempat pakaian, dua stel baju putih, dua sarung warna hijau untuk pakaian sekolah, tiga stel baju tidur, satu jaket dan  beberapa rok hitam dan rok dongker. Kalau ingin melihat isi keranjang pakaian anak asrama hampir 90% sama semua isinya. Rok sengaja di pilih berwarna hitam dan dongker biar lebih tahan lama di pakai, kalau kotor tidak kelihatan walaupun bau-nya sungguh sangat tidak  mengenakkan.
“Kau keseringan bengong dalam beberapa jam ini Rhe…apa gara-gara cowok itu?jangan lupa jadwal pelajaran dan jadwal piket sudah ada di bawah kantor asrama, kalau kau malas kesana.. nanti ku ambilkan saja, sepertinya kau butuh istirahat, tidurlah..kalau kau sudah bangun, ceritakan ya..tentang si satiman-mu itu.” Senggol Ketaren menyikut lenganku yang tanpa sadar sudah duduk manis di tempat tidurnya.
“ Apa sih yang tidak buat-mu Ren”
“ Jangan bercanda, Aku akan menagih janji Cerita-mu, jangan lupa kau harus mengenalkan-nya pada-ku.”
“ Asal jangan sampai kau ikutan naksir. He he”
“ Jangan sembarangan ya, tidak akan lebih cakep dari pacar-ku, tapi sepertinya soal postur tubuh aku mengalah, kau menang.”
“ Wah…ngaku kalah nih neng..”
“ Gimana kalau kalian jalan berdua, bisa kayak pohon pisang sama tunas-nya. kau harus pakai tumit setinggi yang sering dipakai Jupe, baru bisa damai ukurannya. hahaha”
“  Cinta membutakan segalanya, kau lupa ya, Goas aja sampai nggak bisa melihat rambut-mu yang kayak kumis jagung di jalin-jalin.”
“ Ya udah lah, aku kan udah ngaku kalah. Silahkan tidur Nyonya..”
Aku tersenyum, Ketaren seperti biasanya sangat mengerti aku. membiarkan kepalaku menyentuh bantal dan papan berumur puluhan tahun yang sudah kami alasi karpet mengajak-ku untuk segera melepas lelah. Anak-anak yang menempati kamar 3 mawar sudah mulai memadati tempat tidur masing-masing, sambil se-sekali terdengar ocehan seputar liburan mereka, tentang cinlok dalam bus, tentang  para pokir yang korupsi ongkos rombongan liburan, tentang perayaan yang gagal menarik penonton, sampai cerita di taksir anak pak lurah.
“ Begitulah resiko anak pesantren selalu banyak yang naksir bahkan belum lulus udah di lamar duluan..hahhha. hahhha”
Tawa renyah berbalas terdengar dari tempat tidur sebelah, kalau tidak salah namanya Chairidani, kakak kelas tujuh senior terhebat di kamar ini, Ia bukan Cuma senior, kakak kelas tujuh itu juga mempunyai tugas menjaga kami yang masih junior, menemani kami ketika takut ke pancuran (asrama tidak ada kamar mandi, yang ada hanya pancuran air yang mengalir dari pegunungan di tampung melalui bak seluas 7x1 m) dan membangunkan kami dengan memercikkan air ke wajah para si junior nakal yang sengaja ketiduran dan meninggalkan sholat isya dengan sengaja pula,  begitulah asrama selalu penuh cerita yang mengundang tawa. Aku tidak melihat Yanda dan Amalia, paling-paling.. lagi tebar pesona ke pelosok asrama, biasa!!selebritas di tinggal produser.  Aku menarik selimut sedikit menutup leher, mataku mulai pedih, ngantuk berat sepertinya.
“ Mau tidur say..ni ada oleh-oleh dari mamak Kakak, bika ambon kas medan.” Nita menghampiriku
“ Ntar aja kak, ngantuk berat.”

“ Oke deh, tapi ini special kakak bawakan untukmu”
“ Terima Kasih banyak Kak. Tapi Rhe benar-benar ngantuk, nanti saja kita makan sama-sama dengan Taren ”
“aku hanya membawakan untukmu, bukan untuk Ketaren.” Nita beranjak meninggalkanku dengan wajah sedikit kecewa karena- Aku menolak oleh-oleh dari orang tuanya. Aku lelah dengan 12 jam selama perjalanan, otak-ku mulai melemah, kupaksa mata terpejam, urusan dengan Nita, nanti saja! Ku ingin bertemu se-seorang dalam mimpiku….Se-seorang yang tiba-tiba Aku rindukankehadirannya.***                                                                                         Saat mataku mulai dapat membaca sekitarnya, wajah Ketaren muncul pertama kali sedang serius menatap-ku sambil mengipaskan kertas hijau bermotif bunga. Menahan rasa malas Aku mengucek mata, meninggalkan sisa kantuk yang hilang ditelan lelap-nya tidurku.
“ Kenapa lagi Ren?pandanganmu itu..serius amat.”
“ Emang lagi serius, romantis banget cowokmu, gak sabar Aku mau kenalan sama cowok puitis!kayaknya tuh cowok bakat jadi penyair muda”
Ketaren memberikan kertas hijau yang rutin diberikan sosok yang kini selalu hadir mengisi hari-hariKu. Aku langsung paham, pasti dari dia..
“ Lagi penasaran banget dengan si Satiman-mu itu? kenal dimana sih?”
“ Sabaran dikit Aku mau baca ini dulu, siapa yang ngasih tadi?”
“ bu Gotar. dua bulan nggak ketemu gimana rasa kangen-nya tu Rhe?”
“ mau tau aja,” jawabku cuek. “nggak perlu kau bilang aku sudah dapat menebak, kalian pasti sudah jadiankan?”
Aku memilih diam tidak ingin menjawab pertanyaan Ketaren, bersegera menyobek dengan hati-hati surat bersampul hijau, wangi sekali…
Pesonamu telah melumpuhkan hati yang mulai terlena
gadis yang slama ini mengganggu tidur sang pangeran
mengusik mimpi dengan taburan kebahagiaan
menatapmu seakan cahaya yang mulai redup kembali benederang 
izinkah sang pengusik membuka pintu
membagi pesonanya kepada sang pangeran
menatatapmu…se-akan menaklukkan tingginya gunung sorik marapi
tanpa-mu..malam-ku seakan dibalut pekat gelap tanpa suar
izinkah..sang pemilik sinar membagi cahaya pada jalan tanpa penerang??
By-yang slalu menatap indahnya pesona-mu
“ Senyam-senyum sendiri, benar ni Kau nggak mau cerita?”
“Ia-ia Taren sayang..oke” mmm, aku menarik nafas sedikit.
“ Dia itu sepupunya kak Susi, kau kenal kak Susi kan?”
“ Ya kenal-lah, mana ada di asrama ini yang nggak kenal Susi. Susi indriani maksudmu?Kau akrab dengan-nya sekarang?”
Aku mengangguk, wajah Ketaren kecewa, Ku tau dia pasti marah.
“Jangan marah, dengarkan dulu ceritaku”
Ketaren mengambil posisi duduk bersebelahan denganKu, serius menjadi pendengar setia curahan hati.
“ Waktu itu, Aku pulang Idul adha ke kampung Nenek, dan se-angkot dengan Kak Susi, di dalam angkot Aku jumpa orang se-kampung Nenek. Dia bilang kalau Nenek-ku mendadak pergi ke Bandung tempat paman-Ku, Karena sudah terlanjur berangkat, nggak mungkin Aku pulang ke asrama, sementara Kau tau sendiri asrama sepi liburan haji, Kak Susi mengajak ke Kampung-nya, dan disanalah Aku kenal dia, Aku juga nggak tau kenapa dia sampai segitu-nya sama Aku. Padahal kalau Kau melihat gadis-gadis di kampung Kak Susi, sumpah! paling jelek yang Aku lihat level-nya Acha Septriasa. Aneh juga kenapa dia nggak cari pacar di kampung-nya aja ya? cerita Kak Susi, dia sama sekali nggak pernah pacaran dan jarang banget ngomong sama cewek. Padahal selama di kampung-nya Aku jarang sekali bertemu dia bahkan berbicara dengan dia aja, bisa di hitung pakai jari. Cuma kenalan dan salaman waktu selesai sholat id, terakhir Aku jumpa, Dia mengantarkan Ku menunggu angkot pulang kesini, dan entah kapan Ia menyelipkan kertas hijau seperti surat ini- di tas-Ku. Setelah itu, menjadi rutinitas mengirimiKu puisi, cowok aneh. Rasanya tampangku tak seberapa!”
“ Nyadar juga ya bos..ha haha. Aku senang Kau mau berbagi cerita sama Aku. Tapi yang pasti kau belum jadiankan sama si Satiman-mu itu?” Tanya Ketaren. Aku secepatrnya mengangguk, menghindari ceramah tanpa judul dari Ketaren. “Rhe.. ada cowok yang tentu saja cukup berbeda menilai perempuan, bahkan ada cowok yang sama sekali nggak pingin pacaran, sekali kenal perempuan, Ia ingin perempuan itu langsung jadi istrinya ”
“ Segitunya. Tumben bijak, dapat kata-kata darimana neng..”
“ Dari kalimat-kalimatnya Aku yakin itu bukan kalimat gombalan.”
“ Kali ini Kau melewatkan pribahasa penting dalam dunia cinta..”
“ Maksudmu?”
“  Buaya tetap buaya tidak akan bisa berubah menjadi lumba-lumba.”
“ Aku nggak paham”
“ Dasar lola. Laki-laki ya tetap laki-laki neng..sampai kapanpun nggak bakal berubah status, artinya tukang gombal ya tetap tukang gombal, mana ada jantan yang nggak hoby nge-gombal..”
“ hahhaha ha..Benar sekali tu, tapi kamu senangkan..di gombalin!”Ketaren mencubit pelan pipiku yang sepertinya merona merah.
“ Sembarangan kalau ngomong” jawabku sedikit gugup.
“ Tapi, apapun alasannya, Aku nggak suka Kau akrab dengan gadis genit itu Rhe. Ngerti maksud-Ku?”
“ Kau mengatakan itu karena Kau belum mengenal sepenuh-nya siapa Kak Susi  Ren.”
“  Apapun alasan-mu membelanya, status di asrama ini tidak akan bisa mengubah keadaan, kalau dia sudah berstempel sebagai gadis genit yang suka menggoda cowok, bahkan cowok orang aja dia godain. Untung saja laki-laki itu sepupunya, kalau orang lain Kau bakal terancam jadi nomor dua.” Aku memilih diam. Tidak berniat untuk adu debaat dengan makhluk yang sudah tercuci otaknya dengan negative thinking anak asrama terhadap kak Susi.
“ Hati-hati dengan perasaan-mu Rhe..jangan sampai terjebak dengan perasaan-mu sendiri.” Kali ini bukan Ketaren yang berbicara tapi Kak Nita, kata-kata-nya mengejutkan kami berdua, kupandang Ketaren yang hanya mengangkat kedua bahu-nya. Apa tadi katanya, hati-hati dengan perasaan-Ku!!
ASMARA DI ASRAMAKU
ASMARA DI ASRAMAKU

7 Maret 2012 pukul 21:22
BAB II
KEHEBOHAN DI HARI PERTAMA
DI KELAS TERCINTA
Hari Pertama di kelas 3, Rabu pagi dengan sepoi angin pegunungan lembah Sorik Merapi, Aku baru selesai mandi dengan berebut Air bersama anak asrama lainnya, membuka kain penutup keranjang, Kain sarung hijau berpadu dengan atasan baju putih plus jilbab putih ber-renda bermotif boneka, Aku mulai memakainya. hari ini, hari pertama masuk kelas setelah dua bulan menjadi penghuni rumah, alias anak pingitan.  Ku periksa kembali kitab-kitab yang sudah ku-sediakan, kawakibuddariyah, al--bajury, balagoh, ta’lim mtallim, selesai menyusun buku Aku menghampiri Ketaren yang tengah menghembuskan angin dari mulutnya ke arah lekukan jilbab di ujung keningnya, mulutnya sampai monyong beberapa senti ke atas untuk mendapatkan hasil terbaik lekuk jilbabnya. Aku melihat Amalia dan Yanda melakukan hal yang sama seperti Ketaren. Aku tersenyum geli melihat tingkah anak asrama dalam cara memakai fashion aneh-aneh saja, cara berpakaian Amalia, membiarkan sarung hijaunya menyapu lantai, atasan baju kurung putih yang lengannya di lipat hingga siku, memperlihatkan cara berpakaian ala tomboy, Yanda lain lagi, sarung hijaunya di buat pas semata kaki tapi ujung baju putihnya dilipat hingga 3 lipatan ke atas untuk mendapat kesan seksi ala Asrama.” Siapa Encik yang menjadi wali kelas kita Ren?”
“Na’imah si penyakit ayan, kau tidak perlu takut, semua  aman terkendali”
“ Hai semua, kita pergi bareng ya...ni ada kemek[1] dari mama-ku” Neni mendatangi-Ku menenteng kantong plastik berisi kacang sihobuk, oleh-oleh khas porsea, menghilangkan sesuatu yang ingin kutanya-kan tentang si penyakit ayan pada Ketaren, karena aku tidak membaca pengumuman jadwal yang sudah ditentukan asrama. Apa ya? yang ingin ku tanyakan pada Ketaren, kok aku bisa lupa?
“ Bagi donk…” seperti biasa, dengan gaya cuek bebek sok akrab, Amalia menarik plastik berisi kacang kulit khas tanah Utara dari tangan Neni yang terkejut dengan aksi-nya. Bukan Neni namanya kalau tidak membalas aksi iseng itu. Untuk saat ini Ia membiarkan Amalia merebut plastik berisi kacang kemek dari mama-nya, “kita liat aja nanti..” Ia membisikkan kata-kata itu di telingaku, sambil mendengus kesal melirik Amalia. Menarik tanganku segera berangkat menuju kelas. Aku melihat Ketaren yang sudah siap dengan kitab ala kadarnya, kebiasaan Ketaren memang tak pernah membawa kitab yang akan di pelajari hari ini, ia hanya membawa satu kitab saja. Dan di kelas nanti Ia berpura-pura membuka kitab yang jelas bukan kitab yang di pelajari. Kalau giliran-nya di beri pertanyaan oleh encik, maka aku-lah yang harus bersiap-siap memberi jawaban dengan melempar kertas kecil dari kaki berisi jawaban ke bawah bangkunya dan Ia akan menarik kertas itu dari jepitan jari kakinya, jangan sampai Ia mengoleskan obat rematik ke sekujur betis karena kelamaan berdiri. Sepertinya bukan Cuma Ketaren, Amalia juga punya kebiasaan yang sama. Sudah tak sabar rasanya sampai ke kelas, kelas baru pasti punya cerita baru, semoga pagi ini ada cerita cinta menarik untuk kembali ku ceritakan pada anak cucu nantinya..waw..udah kemana-mana isi imajinasiku, sampai pada tahap Aku sudah nenek-nenek. Tiiiit…tiiittttt
Bel berbunyi pertanda semua harus masuk kelas, Aku dan 27 murid di kelas 3-16 berdesakan menaiki tangga menuju lokal nomor 2 di tingkat 2, dengan gelar local kereta api karena deretan kelas-kelas yang berderet panjang mirip gerbong kereta api, kami berlarian segera masuk. encik Na’imah, si wajah angker dengan penyakit ayan terberat diantara semua encik yang mengajari kami, masuk tanpa mengucap salam, segera membanting pantatnya ke kursi yang sudah tersedia dan mulai menyorot tajam ke seluruh penjuru kelas, hening tercipta dengan sendirinya, membuka kitab masing-masing tanpa menunggu di komando, apakah itu kitab yang akan dibahas atau tidak, itu tidak penting, yang terpenting semua segera menatap kitab di depan mata,  tidak anehkah..?ini Pesantren atau apa-an?tanpa ucapan salam,  pandangan dengan sorot mata se-tajam Elang se-olah kami adalah mangsa yang akan di telan.  Begitulah sikap sebahagian guru, salah satunya adalah encik Na’imah si pengidap ayan, yang sering membuat Aku muak jika masuk kelas.
“ Sahrani..!iqra’..kitabul hadist, tapaddhol (semua menatap Sahrani yang segera berdiri)
Tidak ada yang bersuara semua diam, Sahrani berdiri sambil membuka kitabnya, mulai membaca(isi kitab kuning) aku tidak melihat Riadoh, si kocak yang suka menghibur itu belum menunjukkan batang hidungnya, selang beberapa menit aku menangkap bayangan Riadoh di tepi jendela pas di ujung pintu kelas, Ia mengedipkan matanya padaku, memberi kode, aku jangan melihat ke arahnya, agar si penyakit ayan itu tidak curiga kalau Ia terlambat datang. Seperti biasa si pengidap ayan itu berjalan mengelilingi bangku-perbangku memeriksa konsentrasi kami, kini Ia berada di urutan bangku belakang juga menghadap ke belakang, memberikan kesempatan pada Riadoh untuk menyusup masuk dan langsung duduk di urutan bangku depan, kami semua menahan senyum, kecuali Sahrani, Ia terkejut karena bangku yang di duduki Riadoh adalah tempat duduknya, Syahrani diam sejenak, membuat encik Na’imah menuju tempat Ia berdiri, Encik Na’imah langsung dapat membaca keadaan, Ia menatap Riadoh curiga.
“aso isi ho, nangkin inda adong uligin ko, git manipu jolmaon doho ha..”
Encik Na’imah naik tensi, Ia menatap kami satu persatu.
“homu usapai, sian andigan ia adong I son, na tarlambat sanga inda?”
“dari tadi buk…” jawab kami serempak
“dia Cuma pindah duduk ke depan ncik.” Tambah-ku, jangan sampai Ia curiga
“assalamualaikum” tiba-tiba seorang santri senior masuk ke kelas kami.
“maaf ncik, encik di panggil ke kantor, ada rapat mendadak.” Kalimat si santriyati senior itu membuat kami saling pandang dan menahan hati yang kegirangan, menanti si penyakit ayan keluar dari kelas.
 “baiklah, kalian semua saya harap tenang jangan ada yang keluar dari kelas, hapalkan hadist yang baru  saja di baca oleh syahrani, pahimtum.”
“pahimna encik” jawab kami serempak. Ia pun segera keluar. Suasana kelas langsung riuh tanpa  control. Amalia berlari ke tepi jendela kebiasaannya setiap tidak ada guru disusul Yanda, bukan Cuma ke tepi jendela mereka justru masuk ke teras belakang kelas melewati jendela nako yang sudah pecah, lubang pecahan jendela itu memberi kemudahan bagi Amalia dan Yanda untuk masuk ke teras belakang kelas, teras itu hanya mempunyai lebar satu meter tanpa pagar, sepertinya mereka tidak takut jatuh, apa yang hendak mereka kerjakan? Aku menyusul ke tepi jendela, penasaran dengan aksi yang akan di lakukan dou super nekat itu.   Amalia mengeluarkan silet dari kemben pengikat sarungnya, dan apa yang terjadi..Amalia menyayat ujung jarinya, kemudian menyayat jari Yanda juga, mereka mulai menulis sesuatu dengan darah yang bercecer dari jari-jari mereka ke dinding pembatas kelas. Tidak ada yang mencegah, semua dengan senang hati menjadi penonton, aku memasukkan kepalaku sedikit ke lubang pecahan jendela agar dapat melihat apa yang tengah mereka tulis.
“hei.. Rhe, kau penasaran dengan apa yang kami tulis, lihat saja kesini.”
“ayo Rhe masuk saja, aku juga penasaran apa yang mereka tulis.” Ketaren meyusul di belakangku menyuruhku segera melompat ke teras belakang, aku pun segera melompat, wau,….Amalia dan Yanda menuliskan nama cowok dengan darah, gila banget. Helmi dan Iwan, itulah nama yang mereka tulis di dinding itu, aku tidak dapat menahan mulut ku untuk tidak berdecak takjub, selesai melukiskan nama kedua cowok itu keduanya mengajak mataku untuk mengikuti jari telunjuk kearah dua cowok yang tengah berdiri menatap ke arah kami, Amalia memberi kode kepada kedua cowok itu untuk melihat apa yang sudah di tulisnya. Tapi sayang aksi itu tidak hanya jadi tontonan kedua cowok yang namanya sudah di abadikan lewat darah mereka, kini beberapa pokir langsung memenuhi bawah kelas kami, “hentikan Amalia, nanti kalian di hukum” aku tidak mengetahui apakah yang berseru itu Helmi atau Iwan, tapi aku harus menghentikan mereka sebelum si penyakit ayan datang.
“Amalia, Yanda cepat masuk sebelum encik ayan melihat kalian. Yunita melihat si gila itu sudah ada di tangga, ayo masuk lah..” seruku berbohong, padahal Yunita, cewek tomboy asal bagan batu itu sama sekali tidak keluar kelas, bagaimana Ia melihat encik ada di tangga, kalau tidak di bohongi mereka tidak akan menghentikan aksi gilanya, dan mungkin akan ada lagi aksi selanjutnya yang mungkin lebih nekat.  Berhasil Amalia dan Yanda menyusulku masuk ke kelas,
encik Naimah membanting meja, menatap satu persatu kearah klami matanya bereakhir ke wajah syahrani, Sepersekian detik..Tiba-tiba sesuatu terjadi. Melepaskan Sahrani dari jerat bacaan kitab gundul yang pasti membuat kepalanya ikut hampir gundul.  “Yanda I LOVE YOU…..”Suara jeritan membuat semua menatap ke arah Yanda yang terkejut mendengar namanya di panggil se-seorang. Sepertinya Bukan cuma Yanda,  suara jeritan itu berakhir dengan suara riuh tawa, pasti lebih dari satu orang, tidak lama berselang. “Amalia…aku cinta kamu..” kali ini semua menatap Amalia, wajahnya pucat, sungguh Aku kasihan melihat mereka, encik pengidap sakit ayan itu tidak akan melepaskan momen ini, Sahrani berhenti membaca kitab hadist, dengan bersegera, encik dengan lekuk jilbab lipat dua di keningnya menyeret langkah ke arah jendela yang langsung tembus ke jalan raya. Semua murid riuh tanpa control Dari encik, mengikuti derap langkahnya yang membuat ketakutan. Tak terkecuali Aku. Aku dan Ketaren bersegera menuju jendela melihat apa yang terjadi dari arah bawah, tidak Cuma Amalia dan Yanda, Aku yakin para pokir itu akan memanggil nama lain lagi,  di bawah sana terdapat lebih dari sepuluh pokir, Aku tergagap menyaksikan se-seorang di bawah sana. Bang Iman . ya ampun..mulutku menganga terkejut. Ia memandang ke arah-ku, Aku segera melipat tangan ke dada berbentuk permohonan memberinya kode agar jangan sampai memanggil nama-ku, Ia mengangguk dari bawah sambil melambai tangannya, encik Na’imah tidak akan mengetahui lambaian tangan itu untuk siapa, mengingat semua murid kini berada di tepi jendela berdesakan melihat ke bawah. Hanya Yanda dan Amalia yang tidak beranjak dari bangkunya, wajah mereka tunduk, lemas menanti si penyakit ayan memberi hukuman. Aku melirik Ketaren yang pucat takut namanya ikut di panggil, sepertinya Ia juga kasihan melihat Yanda dan Amalia.
“ Handa Yandani, dan Kamu,  Amalia Suciana segera ke kantor.”
Tanpa komentar dan tanpa menolak dengan berbagai alasan, Yanda dan Amalia beranjak dari bangkunya, keluar kelas menuju kantor Sekolah di ikuti encik Na’imah dari belakang, baru beberapa langkah, suara nyaring pokir iseng itu kembali terdengar, kali ini: ”Taren Aku kangen…sama kamu!!kita jumpa di tempat biasa ya!!!”  Aku menganga spontan, menatap wajah Ketaren yang seputih kapas, malang tak dapat di tolak, mata tajam si penyakit ayan mengisaratkan  Ketaren ikut ke kantor, Aku berlari ke arah jendela sebelum sesuatu kembali terjadi, Aku melihat bang Iman hanya duduk di serambi makam di tepi jalan raya, Ia melihat Aku dan membuat kode dari sandi tangan-nya agar Aku jangan takut, karena dia tidak akan melakukan hal bodoh seperti yang dilakukan pokir iseng terhadap Amalia, Yanda dan Ketaren. Aku tersenyum, membalas Sandi tangan dengan memberi 3 jari tengah dan lekuk huruf K , yang artinya “AKU CINTA KAMU” sekarang si penyakit ayan sudah beranjak menuju kantor, jadi.. bebas melakukan apa saja, sebab pelajaran ditutup, season pertama tanpa guru. Momen yang menggembirakan bagi sebahagian murid, Bagaimana nasib Ketaren, Aku mencemaskan mereka. Apakah leher ketiga teman se-kelas ku itu akan di gantungi bacaan cari jodoh?.  Aku harus mencari akal agar  membebaskan mereka dari jerat hukum si encik ayan itu. Tidak hanya sekali ini saja encik error itu menghukum dengan se-suka hatinya, Sahrani pernah mengalami yang lebih sakit dari hukuman di permalukan, di fitnah di hadapan direktur Sekolah, dengan menuduhnya menghina guru. Hanya gara-gara Sahrani tidak menawarkan payung yang Ia punya pada si penyakit ayan saat Ia tengah kehujanan, sebab Sahrani juga membutuhkan payung tersebut, tapi encik Na’imah berpendapat guru harus lebih dulu dari murid, biarkan Sahrani kehujanan asal guru tidak kehujanan karena guru harus di hormati dan dihargai, didahulukan kepentingannya daripada murid. Pasal yang aneh se-aneh undang-undang Guru versus Siswa yang sudah diatur di pesantren ini!Aku mondar-mandir bak setrika sepersekian menit tak ada ide yang cocok muncul di pikiranku, siapa sih pokir-pokir itu? Aku melihat Neni sedang menyantap rujak dengan santainya, biasanya kantin memang tujuan pertama jika momen tanpa guru terjadi, biasalah kebiasaan sarapan kelupa-an atau sengaja di lupakan, Neni menghampiriku.
“ Mau rujak..?
“ Nggak mood.
“ Mikirin Ketaren?
“ Bukan Cuma Ketaren Nen..
“ Jangan bilang kalau kamu juga mikirin si Amalia yang sok tenar, sok laris, sok kecakepan, sok..
“ Nen..
“ Kenapa?salah?
“ Nggak. Kamu nggak salah, mungkin ini momen yang baik buat kita mengubah karakter Amalia yang membuat teman-teman menilai dia dengan Negatif, orang kan bisa berubah.
“ Jangan sok baik
“ Bukan sok baik Nen, coba kamu berada di posisi dia, gimana rasanya?bukan-nya kamu pernah mengalami hal yang di alami Yanda, Amalia juga Ketaren. Ketaren itu teman kita Nen..
“ Trus emang-nya kita mau ngapain?kamu kenal si sakit ayan itu kan?mana mungkin kita bisa membebaskan mereka, setelah selesai asar nanti leher mereka akan tetap digantungi label cari jodoh…paling juga jadi tontonan gratis para pokir..”
“ Yah..itu dia Nen. Aku nggak izin pokir-pokir itu bisa ketawa terbahak-bahak melihat tontonan gratis itu. Kau ngerti maksud-ku.”
Neni menggeleng. “ kita harus mencari akal untuk membebaskan mereka. Kamu punya ide?”
Kedua kalinya Neni menggeleng. Keningnya berkerut tanda mulai berpikir. Tiba-tiba.
“ Aku ada ide Rhe..bagaimana kalau kita menjumpai Ustazd Farhan atau Ayah[2] Amir Hamzah, gimana Rhe?
“ Jenius…yuck.”  Aku langsung mendadak mendapat inspirasi untuk mengadukan keji-nya starategi pembelajaran si encik Naimah. Bersegera menuju kantor para guru laki-laki yang sangat pro-patayat. Didalam kantor ada Ustazd Farhan, Ayah Amir juga ada. Aku membaca salam dan sedikit tak sabar menerobos masuk.
“ Ada apa nak?
Kami di sambut Ayah Amir Hamzah yang mengerjitkan keningnya menatapku heran, nafas-ku rasanya sesak ingin secepatnya mengadukan belang si encik ayan, tapi nyata-nya tak ada kalimat yang keluar dari mulut-ku, Aku hanya diam begitu juga Neni. Kami hanya Menunduk-kan kepala tidak mengerti apa yang harus dilakukan.  
“ Ada apa Rhena..? kedua kalinya Ayah Amir menanyaiku. Jantung-ku tiba-tiba tidak kompromi, berdesir mendidih menahan luapan emosi kebencian yang rasanya ingin ku-ingat seumur hidup-ku tapi rasanya ada yang tersumbat di kerongkongan-ku, terlalu banyak kalimat yang ingin ku sampaikan. Tanpa berani ku-keluarkan. Retina-ku mulai mengambang, pikiranku melayang setelah sholat Ashar, Yanda, Amalia dan Ketaren akan menjadi pajangan di pelataran kantor sekolah menghadap lokal laki-laki. Aku benci itu, tiba-tiba tanpa bisa ku bendung air mata merayap menyentuh pipiku, Aku menangis., meratapi ketidakberdayaan lidah-ku menyatakan kalimat pengaduan.
“ Duduk dulu nak, minum?pelan-pelan saja bicaranya, ayo sekarang kamu tarik nafas dulu.”
Ayah Amir memberikan-ku minum, menuntun ku untuk mengendalikan sesak yang menyumbat segala kata yang ingin terucap. “ Sudah lega?”                       Aku mengangguk memandang ke arah Neni yang hanya menunduk menggosok-gosok kuku-nya tanpa sebab jelas, mungkin..menghilangkan galau yang melintas.
“ Ketaren Ayah…Ketaren, Yanda, Amalia me..mereka mau di hukum Ayah!”
“ Siapa yang mau menghukum?”
“ Si penyakit ayan Ayah.” Ceplosku tiba-tiba, Aku menutup mulutku dengan apa yang baru Ku-ucapkan. Neni menatap terkejut dengan aksi ceplosku.
“ Si penyakit ayan.??!maksud kamu siapa Rhena?”
Aku menunduk tanpa bisa terbendung airmataku menjawab semuanya, Aku menangis sesunggukan.
“ Neni..
“ Ia Ayah..
“ Ada apa dengan Rhena? siapa yang dimaksudnya?”
Encik Na-imah Ayah.”
“Na’imah?”  Tanya Ayah Amir mengulang nama yang di sebut Neni, aku mengangguk.
“tenanglah Rhena, ayah akan bicarakan ini. Kalian kembalilah ke local, insya Allah tidak akan terjadi apa-apa dengan teman-temanmu.”
“terima kasih ayah.”
Aku menyeka sisa airmata, bahagia rasanya mendengar kata-kata ayah Amir, semoga mereka terlepas dari hukuman.


BAB III
MALAM SELASA MALAM YANG PANJANG

Kutanya Malaikat. “kau catatkah apa yang terlintas dalam pikiran manusia”
Malaikat menjawab. “tentu saja tidak ada yang terlewatkan dalam catatan-ku
“Kalau begitu catatan-mu untuk-ku pasti penuh dengan nama seorang wanita hari ini dan mungkin juga hari-hari seterusnya sampai dia selalu ada disisi-ku”
Malaikatpun melihat catatan-nya.” RHENA AL-HASANAH” nama yang terpajang disetiap lembaran catatan malaikat untuk-ku

Pukul 04 Sore. Tiiiiiiiiiiit bel panjang pertanda pelajaran usai. Weekend di mulai..Aku mengulang setiap detail baris kalimat di kertas hijau yang diberikan Ibu pedagang gorengan yang setiap senin datang ke-asrama. Ada yang berdesir di dada-ku setiap ku ulang kalimat tulisan indah-nya. Bang Iman hapal betul jam Ibu gorengan berjualan, aku melihat ketika Ia memberikan surat bersampul hijau  pucuk pisang dari pinggir pagar pembatas jalan raya. Dengan tidak sabar aku menyongsong Bu Gotar, menerima Surat dan bersegera membacanya, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih pada Ibu yang selalu baik dengan para patayat itu, Ia hanya tersenyum saat Aku mengucapkan terima kasih sementara langkahnya sudah berada pada tangga terakhir menuju asrama.   Bagi anak sekolah sabtu adalah hari yang paling di tunggu, tidak bagi kami. Senin-lah hari yang di tunggu, karena selasa adalah hari libur. Aku mulai mengendap diantara pepohonan coklat yang tumbuh di sisi local kelas dua yang langsung berhadapan dengan kantor, melirik si penjaga pos piket keamanan, buncit kayak baru makan mangsa. Satu demi satu langkah mulai menuruni anak tangga, berhasil, Aku bersembunyi disisi dinding, dua ruang kelas pembatas sebelum sampai ke pos piket keamanan, merancang ide kabur dari asrama, tapi rasanya musatahil Aku akan berhasil menyusup diantara wali murid yang datang menemui anak-nya, satpam buncit itu pasti mengenali-ku. Tidak ada cara lain, Bang Iman harus lebih sabar menunggu si buncit makan malam, saat makan paling mudah mengelabui-nya yang memang rakus, apalagi malam, pasti dia sudah kelelahan. Aku masih bersembunyi diantara dinding local, mulai berjalan mengendap menuju kantor Sekolah yang berada tepat di belakang pos keamanan, Aku mulai menimbang-nimbang, apakah Aku akan berhasil melompat pagar yang berada di belakang kantor sekolah saat si buncit nantinya makan. Langsung berguling kebawah, aku akan sampai tepat di bibir jalan raya, semoga angkot bermerek anatra yang sering kutumpangi lewat pada saat bersamaan, jadi tidak membuat si buncit curiga. Sial sekali memang, mengingat Kak Susi sudah berangkat dari tadi siang, dan Ia menungguku di Desa-nya, salah satu desa yang punya ke-unikan tersendiri dengan berbagai tradisi dan adat istiadat yang sukar ku mengerti karena terkadang tradisi di desa itu tidak masuk akal.(bersambung cerita tradisi)  kalau saja aku kelas empat, pulangnya lebih awal, tidak seperti ini, ternyata memang enak ya! kalau sudah se-level dengan anak SMA, bisa kabur lebih cepat. Kresek…ada bunyi plastic disamping kantor.
“ Rhena..
Suara serentak dua patayat  mengejutkanku, berpaling menatap mereka, ah…ternyata Yanda dan Amalia. Sepertinya mereka mau kabur juga.
“ Yanda..Amalia. kalian mau kabur?”
“ Emangnya mau nungguin pancur .” Amalia menjawab asal
“Seharusnya kami yang nanya, kau mau kabur Juga? Tumben! cewek lugu berani kabur.” Apa tadi kata-nya, cewek lugu. Aku tidak salah dengar-kan.
“sudahlah amalia. Pasti seru kalau kita kabur bertiga! Oh iya Rhe, Aku mau ngucapin terima kasih udah menyelamatkan kami dari hukuman” Yanda menyalamiku tersenyum bersahabat dan dengan senang hati mengajak-ku kabur bersama.
“Kau mau kabur kemana Rhe?”
“Ngak Kemana-mana, Cuma mau ke kampung, jumpa Nenek.”
Kalimat o…panjang keluar dari mulut kedua-nya, syukurlah! Aku tidak ingin ada yang tau kalau aku mau jumpa bang Satiman. aku tidak percaya mulut mereka bisa di ajak berdamai.  “ Kamu mau kenal pacar-Ku?” Amalia mengajak mata-Ku mengikuti jari telunjuk-nya. “ Namanya Zulhelmi anak medan, cakep-kan!?” Aku tersenyum mengangguk, meski sebenarnya Aku sama sekali tidak melihat jelas apa yang di tunjuk oleh Amalia, hanya sosok yang lewat di depan kami dengan wajah tertutup serban, bagaimana Aku bisa mengenali pacar-nya. Selanjutnya, bang Iman mondar-mandir di samping pagar pembatas perpustakaan menuju sungai di pinggir jalan lintas. Melihatnya seperti itu, Sudah tidak sabar rasanya Aku melompat pagar besi di depan-Ku ini.
“ Kenapa cowok itu ngeliatin kita terus ya..” Amalia menunjuk Bang Iman, sepertinya mereka lupa kalau mereka pernah melihat foto-nya di dompetku.
“ Aku nggak kenal, Kau kenal dia Rhe?jangan-jangan itu pacarmu, Kau bohongi  kami?”
“ Aku nggak kenal.” Jawabku gugup. Ah..aku paling benci dengan kebohongan.
“ Kau tidak usah takut Rhe.”
“ Takut maksud kalian?”
“ Kau takut mulut kami ember bocor, kami berhutang budi padamu”
“ Tidak perlu formal seperti itu,”
“ Kau tidak membenci kami Rhe, seperti patayat lain-nya?”
“ Sudahlah..jangan bicara yang aneh lagi, bukankah sekarang kita sekamar? Kenapa harus saling membenci.’
“ Kalo begitu katakan apa laki-laki yang melihat kesini itu pacarmu?salahnya aku tidak memperhatikan jelas waktu melihat fotonya, kalau tidak aku pasti mengenalinya.”
“ Bukan, mungkin hanya perasaan kalian saja dia melihat kita, namanya juga laki-laki mungkin dia merasa aneh kita berdiri bertiga disini.”
Bertahan dengan bau busuk parit buangan toilet kantor, duduk membosankan selama dua jam, menunggu Muazzin mengumandangkan azan, matahari mulai mendarat di pelataran, Gelap mulai merambat, dengan setia cowok 19 tahun itu menanti-ku di tepi jalan raya, kami bertiga mengintip bersamaan ke arah si Buncit yang beranjak dari kursi panasnya, mengunci pos keamanan. Menyalakan senter, mulai menyorotkan sinar senternya, kami merapatkan tubuh ke dinding  kantor, jangan sampai sinar senternya menyentuh salah satu tubuh kami. Sesuatu terjadi, hampir saja aku menjerit, Yanda dengan sigap menutup mulutku, binatang berbisa berkaki seribu tepat disisi jempol kiriku,  sinar senter berulang-ulang menyorot kearah dinding kantor, Suara kresek kaki Amalia yang dengan emosi menginjak binatang melata itu pasti membuat si Buncit curiga, kami semua menahan nafas, sinar senter semakin dekat, pelan tanganku membuka pintu toilet, beringsut kami bertiga masuk. Berdiam sekitar lima menit, kami dengan jelas mendengar suara gembok yang di tekan ke induknya bersentuhan dengan pagar besi, nyaring terdengar. “aman sekarang, si buncit sudah pergi” Yanda melongokkan kepalanya dengan berani keluar dari persembunyian. “Aman” ucap Amalia sekali lagi, ketika mata kami dengan jelas melihat si buncit tancap gas dengan motor tuanya. Tak sabaran aku langsung melompat pagar pembatas kantor dengan jalan raya. Meluncur sempurna. Plok..tubuhku mendarat keras di rerumputan pinggir jalan.
“ kau nggak papa Rhe..” bersamaan Amalia dan Yanda menghampiriku, yang menyusul ikut melompat, tersirat cemas di wajah mereka.
“aku nggak papa kok.” Malang sekali, Bang Iman mendatangi kami. Kacau..
“Rhena?jatuh!Rhe nggak papa? “ Udah tau nanya, kesal sekali kenapa bang Iman datang saat tak di undang.please pergilah, jangan sekarang.
“kau bohongin kami Rhe…” angkot Anatra melintas, dengan cepat bang Iman menyetop laju angkot. Aku memilih diam saja, mengikuti bang Iman masuk ke dalam angkot. Tidak mengacuhkan pandangan heran Amalia dan Yanda.
“tunggu bentar Rhe!” Yanda menahan pergelangan tanganku. “kau mau kemana?aku berjanji tidak akan membocorkan ini, tapi tolong katakan kau mau kemana?jika terjadi sesuatu yang darurat disini kami bisa menghubungimu.”
“aku mau ke desa aek badak, kalian boleh datang. Sorry aku bohongi kalian.”
“nggak papa. Kami Cuma ke panyabungan kau bisa jumpa kami di taman baca yang ada disana.”
“makasih..” aku segera melompat ke dalam angkot. “jangan beritahu Ketaren ya…” jeritku diantara laju mobil. Yanda mengangguk pertanda Ia masih mendengar suaraku.*********
Desa Aek badak jae…! Ucapkan welcome padaku.
“ assalamualaikum nek..kak Susi”
“waalaikum salam..Rena..” kak susi menjerit memelukku gembira. Puas tertawa Ia baru ingat sesuatu.
“ hei…masuk!kau tidak sedang memberi makan nyamuk kan, Iman?”
Bang Iman tersenyum tersipu. Ah senangnya aku melihat senyum itu.
“kenapa malam sampainya?kalau tidak salah dari tadi siang Iman menghilang dari kampung ini, kakak sudah yakin pasti dia ke pesantren, menculikmu.”
“kakak bisa aja. Nunggu si buncit kelur dari pos keamanan. Belum makan ni..boleh Rhe makan?”
“udah duduk aja disamping pengeranmu, udah kakak siapin makan kalian. Tinggal duduk aja tuan putri.” 
“jangan gitu donk nyambutnya, jadi nggak enak.”
Sembari membantu kak susi menyiapkan makan malam,
“Rhe..
Bang Iman memanggilku. “duduk sini..biar susi saja yang nyiapin makannya!”
Bosan. Menunggu suaranya keluar, aku benci kesunyian. Hidangan siap untuk disantap, tapi sosok yang ada disampingku ini hanya diam saja. Hingga nasi dipiring habis semua masih sepi. Aku menyusul kak susi ke dapur.
“kak?!”
“kenapa Rhe?mau bantuin kakak nyupir, nggak usah.tungguin aja pangeranmu, katanya lagi kangen berat!”
“ia, Rhe tau,kalau kangen kok diam aja. Rhe kan pusing.”
Raut ingin menertawakanku terpancar lucu dari wajah kak susi, menggelengkan kepalanya kemudian berubah menjadi senyuman manis.”kakak tau kalian baru dua bulan pacaran dan baru berapa kali jumpa, tapi kamu jangan bingung gitu, kamu harus belajar mengenal dia Rhe.”
“Rhe nggak ngerti.” Kak susi sepertinya ingin mengatakan sesuatu tapi matanya menyorot ke arah bang Iman yang  sedang asyik menatap monitor televisi, mungkin memastikan bang Iman tidak mendengar kami.
“Iman itu terlalu sayang sama kamu. Jangan tanyakan alasannya, karena kakak tidak tau apa alasannya.”
“Rhe tau kak. Asal ketemu..Cuma diam doank. Kan! Rhe nggak ngerti harus ngapain.” Kak susi mengelus kepalaku
“dia nggak pernah kenal perempuan Rhe, seperti dia mengenalmu.”
“tapi Rhe merasa bang Iman seperti teman Rhe yang lain, nggak kayak orang pacaran kalau ketemu, tapi kalau sedang ngeliatin Rhe, yah...”
“tu paham.”
“maksudnya?”
“dari kecil kakak mengenalnya, anak pertama dari sebelas bersaudara laki-laki semua, membuat dia dewasa sebelum waktunya, kamu paham maksud kakak?”
“yah, Rhe cewek pertama yang jadi pacarnya, dan dia sama sekali tidak mengerti bagaimana membuat perempuan merasa dinomor satukan, karena saudaranya semua laki-laki. Karena dia merasa masih banyak yang harus diperhatikan, dan masih banyak hal lain yang harus dinomor satukan, selain Rhe kan. Meskipun dia cinta mati sama Rhe, itu kan maksud kakak.”
“Iman beruntung dapat istri secerdas kamu.”
“belum jadi istri, kakak gimana sih, Rhe masih bingung ni.”
“oke. Yang harus kamu tau, Iman itu terlalu sayang sama kamu sampai-sampai dia nggak bisa berbicara kalau jumpa kamu. Dia juga pasti sedang bingung mau ngomongin apa sama kamu. Terkadang cinta itu bisa membisukan lidah, ingat nggak sama lagu zamrud 30 menit?.”
“sampai segitunya, kakak nggak bohong kan?”
“ya ampun,adikku sayang percayalah sama kakak mu ini, yang kakak takutkan kamu yang ninggalin dia, terus dia stress, eits bunuh diri kayak di film-film, sereem ah…”
“becandanya jangan terlalu seram, bikin Rhe takut.”
“udah pergi sana jagain nyamuk pangeranmu.”
Aku menuruti permintaan kak susi menghampiri bang Iman dan duduk di samping orang yang membuat aku betah tinggal di kabupaten yang berjarak lebih dari 300 kilo meter dari kampungku.
“mau ikut jalan-jalan?” dengan cepat aku mengangguk****
Jangkrik saling bersahutan memecah kesunyian malam, beranjak 30 menit dari suara azan isya, hembusan angin malam menyentuh lembut wajahku, dingin menyusup ke kulit ku yang biasa dengan   terik  panas matahari. Kejora berkerlip ditemani senyum indah separuh bulan, menyinar di antara pepohonan kelapa yang saling menjulang diantar rumah panggung penduduk desa, langit mulai merajuk pada malam, sepertinya sebentar lagi awan akan memuntahkan tabungan airnya, senyum ramah bulan separuh terusik, dengan mendung yang muncul tiba-tiba diantara kerlip kejora,  bulan tidak akan marah pada awan gelap yang mengusiknya, kejorapun sudah tidak ingin berkerlip menghilang ditelan mendung malam.  Sepersekian menit dalam sunyi.
“kangen nggak sama abang?”
Pertanyaan klise, seharusnya ia mengatakan: abang kangen sama Rhe. Sambil menggemgam tanganku, atau menatap wajahku. Yang ada ia menatap jauh   ke ujung pucuk pohon kelapa. Dasar cowok dingin..
“Rhe. Kok diam aja?” “kangen nggak?” aku diam tidak menjawab pertanyaan yang menurutku akan dilontarkan anak yang baru lulus Sekolah Dasar dan baru dapat pacar. Bukan terlontar dari seorang pemuda dewasa berumur 19 tahun, Aku sengaja menyenggol tangannya, sigap bang Iman menangkap tanganku. Menatap wajahku. Mempererat genggamannya. Mata teduh, hidungnya sedang, ditambah bibir-nya yang hitam selalu menghipnotis pikiranku, setiap tersenyum menambah bacaan error pada otakku, bang Iman bukan seorang perokok meskipun bibirnya hitam seperti para perokok, bahkan Ia paling anti dengan bau rokok, itu adalah salah satu dari sekian banyak alasan aku sangat mencintainya, dan berharap kelak selamanya selalu mencintainya.  Kenapa bang Iman menatapku seperti itu?tatapannya serasa aku tidak ingin pergi dari sampingnya, aku memejamkan mataku, merasakan benarkah Ia menyayangiku? sekian menit hanya angin bertiup menerpa dingin wajahku. aku membuka mata, Ia tidak bergeming masih tetap dengan sorot mata yang teduh memandang wajahku, matanya menyirat kesedihan, mulai memerah dan bulir bening mulai berjatuhan dari matanya, menyentuh lembut telapak tanganku, membuat aku bingung ada apa dengan dia?
“Rhe.” Aku mengangguk menyentuh lembut pipinya, menyeka sisa air disudut matanya.”abang kenapa?jangan membuat Rhe bingung?”
“kalau kita berjauhan, kamu sabar ngak nungguin abang?”jeda sejenak
“Suatu saat jika abang jauh, dan pergi dengan jangka waktu lama, ada yang datang ke kamu, dan mencintai kamu, apa kamu menerimanya? ”
“jangan berbelit-belit, Rhe nggak ngerti. Kalau abang sayang sama Rhe pasti abang nggak bakal ninggalin Rhe”
“tapi abang memang harus pergi.” Kini air matanya kembali berjatuhan, Ia menangis sesunggukan memelukku erat, membuatku semakin bingung.
“jangan buat Rhe bingung bang, jangan bilang kalau abang mau pergi ninggalin Rhe.” Ia menyeka paksa air matanya yang tidak mau berhenti mengalir. Aku merangkulnya berusaha memberi ketenangan walau aku sendiri sangat tidak tenang.
“sekarang tenanglah, ceritakan sama Rhe apa yang membuat abang seperti ini.” Aku panik luar biasa, delapan kali bertemu selama empat bulan pacaran, dan ini adalah kali pertama kami bertemu setelah dua bulan liburan sekolah, dan aku pulang ke kampung halaman selama dua bulan itu. Tiba-tiba sekarang! perdana dalam jumpa kami, wajahnya menyiratkan hal yang sulit ku mengerti, pikiran negative yang muncul pertama di otakku, mungkinkah bang Iman punya pacar setelah dua bulan berpisah karena aku harus pulang ke kampung halaman-ku. Dan kini air matanya seakan ingin mengatakan kata-kata “putus” hanya Ia sulit mengucapkannya. Mataku mulai memanas, Retina-ku mengambang, menahan genangan sungai kecil yang sebentar lagi akan mengalirkan bulir airnya ke pipiku. dan besar kemungkinan kata-kata ingin pergi jauh hanya alasan semata.
“Ye………berhasil…” jeritnya kocak sambil tertawa mencubit pipiku. Aku terkejut bingung, semua yang di pikiranku buyar. Retina yang sedari tadi menahan luapan air mata jatuh juga.
“apa-an sih, abang sengaja  ngerjain Rhe biar nangis?”
“Ia!!.hmm, kangen liat Rhe nangis..” Ia tertawa terbahak-bahak sampai-sampai air matanya keluar menahan geli, puas menertawakan kebodohanku, yang tidak mengetahui acting-nya.
“nggak lucu..jeleeeek.” ih..kesalku mencubitnya keras.
”abang jahat…kesaaaallllll, apa maksudnya akting nangis segala, mau ikutan audisi jadi actor ha? ” tanyaku berkacak pinggang, lucu juga sandiwaranya. Ia mengucek jilbabku, sudah berhenti tertawa, kali ini senyam-senyum menatap wajahku yang mungkin akan membuatnya tertawa lagi.
“ maaf donk..bolehkan?” Ia merangkulku, membetulkan letak jilbabku yang tidak beraturan lagi bentuknya.
“kalau nggak di maaafin gimana?”
“nggak papa, yang penting apa yang di hati kamu, abang udah tau, hmm lucu juga liat kamu nangis, pertama waktu mau liburan, waktu itu abang masih takut kamu punya pacar di kampung tapi nangis yang kedua kali ini udah menjamin kalau kamu….
“apa?” aku mempelototinya, ia kembali tertawa.
“sayang sama abang..dan abang tidak akan takut di tinggalin he..mm abang percaya seratus persen sekarang.”
“oooo..jadi aktingnya itu mau nge-test Rhe aja ya?awas ya..Rhe balas” aku mengepal tinju, Ia menangkap tinju-ku
“tangan kecil kayak gini belagu, ninju semut aja belum tentu menang.”
“ih..layas ya sama Rhe.”
“jangan galak-galak donk, ntar kalau udah jadi mamak-mamak wah cerewetnya udah kayak nenek-nenek. Sekarang aja galaknya udah kayak mamak-mamak. Awas cepat tua”
“biarin..Aku mau pulang, aku nggak suka perasaan aku di tes-tes segala, kayak orang mau ujian lulusan aja. Terserah mau sayang mau tidak aku nggak peduli, aku mau pulang.” Aku beranjak melepaskan pegangan-nya dan berjalan cepat, kali ini bang Iman bengong, terkejut dengan reaksi-ku. Sedikit tak percaya Ia mensejajari langkahku.
“kamu marah Rhe?” aku tidak menyahut, terus melangkah tanpa memperdulikannya.
“Rhe..!! Ia menarik paksa tanganku, menghentikan laju langkahku.
“maafin abang, demi Allah aku nggak punya maksud apa-apa. Maafin aku Rhe. Please jangan pulang, aku masih...
Kalimatnya terpenggal, bang Iman sudah memanggil dirinya dengan sebutan aku, berarti.. Ia sudah menganggap serius keadaan, lama terdiam aku tidak sanggup lagi menahan tawa yang mengendap. Langsung terbahak-bahak melihat ekpresi serius-nya.
“kena…” jeritku. “satu sama.” Wajahnya linglung, dan mulai menguasai keadaan, Ia pun tertawa. Melihatku yang terbahak-bahak menggelikan.
“jadi kamu…
“maaf boleh donk..” pintaku mengulang kalimatnya yang tadi.
“mmm..Ia, dasaar jahil, senjata makan tuan.” Aku tersenyum penuh kemenangan, puas membalas acting gilanya, siapa suruh nge-tes air mataku segala, senang sekali rasanya melihat orang yang kita sayangi mengeluarkan air mata untuk kita, mugkin begitu juga yang Ia rasakan hingga Ia ingin sekali melihatku menangis karena takut kehilangan dia, aku tidak bisa melukiskan perasaanku saat ini. Bahagianya…!!!akankah selamanya????
“kita keliling yuck, disana lagi ada keyboard, pasti rame..”
“nggak ah, Rhe nggak suka keramaian, apalagi acara konser kayak gitu..sumpek”
Sebenarnya bukan konser, hanya orgen tunggal, di kampung-kampung seperti kampung bang Iman acara yang biasanya di gelar hanya ketika ada hajatan pesta, kebetulan yang punya pesta adalah orang berduit, biasanya akan mengundang orgen tunggal dan penyanyi local, bahkan yang ku dengar orgen tunggal yang biasa di sebut kibot oleh orang kampung adalah lambang harga diri ketika orang tua akan menikahkan anaknya.
“Cuma liat-liat doank kan nggak masalah, sekalian teman-teman abang mau  kenalan, tadi abang dah terlanjur janji sama mereka buat ngenalin kamu.”
“ntar ada yang naksir Rhe gimana?”
“ih..GR..” bang Satiman mencubit pipiku.
“oke deh, tapi kita jangan lama-lama ya, Rhe pengen keliling kampung trus makan tahu isi pake kuah miso.”
“pasti, sekalian satu warung di borong buat kamu.”
“itu namanya marah.”
“ya enggak lah. Apapun permintaan kamu selagi aku mampu memberikannya akan ku berikan.”
“kalau Rhe minta abang marah, mau nggak?” tanyaku berbisik
“apa aku bisa marah?kamu mengunci amarahku dalam hal apapun Rhe.” Jawabnya pelan di telingaku.
“termasuk kalau Rhe selingkuh.”godaku menyikut lengannya
“kalau itu…” Ia berpikir sejenak
“aku akan marah, tapi bukan sama kamu, aku marah sama diriku sendiri, kalau kamu selingkuh berarti aku yang salah, aku tidak bisa menjaga hati kamu.” Ia menggemgam tanganku, tersenyum manis!
“emangnya apa sih yang membuat abang sayang sama Rhe?kan disini banyak cewek yang lain, baik, dan cantik-cantik lagi...kenapa tidak memilih salah satu dari mereka.” Godaku menatap lucu wajahnya.
“aku mau kamu, bukan yang lain.” Ia mempererat genggamannya. “kamu sendiri kenapa sayang sama abang? Ada alasan tersendiri, kok mau aja di culik sama orang kampung kayak abang ni..” Tanya-nya balik.
“mmm..apa ya..jawab nggak ya?”
“jawab donk..”
“pertanyaan Rhe nggak abang jawab, kan Rhe duluan yang nanya, apa alasan abang kok bisa sayang sama Rhe?”
Ia menatapku lembut, bola matanya jernih menghanyutkan, kami saling pandang. Di tatap seperti itu Jantungku berdegup kencang, rasanya darahku berdesir lebih dari seribu kali dalam waktu satu menit, nafasku seakan berhenti, sesak di kerongkongan.
“jangan liatin Rhe kayak gitu donk, GR ni…”  rajukku menutup wajahnya dengan telapak tanganku, Ia langsung menangkap tanganku yang menempel di wajahnya.
“tidak ada alasan apapun untuk sayang sama kamu, yang ku tahu satu alasan..karena kamu Rhena. Rhena sekarang dan Rhena seterusnya..” Ia berbisik di telingaku, mengecup keningku lembut, menyetop semua kata-kata yang singgah di kerongkonganku. Aku terharu, mataku memanas, kali ini tidak sandiwara, aku memang ingin menangis, menangis bahagia karena aku bisa mencintai laki-laki yang juga mencintaiku, ternyata..dia lebih romantis  dari apa yang aku kira, aku tersanjung dengan kata-katanya. Tidak ada yang bisa ku katakan lagi, wahai waktu…berhentilah sejenak! Aku tidak ingin semuanya cepat berlalu.
“hei…kok melamun?” aku tersipu, tersadar dari lamunanku.
“Rhe sayang sama abang, sampai kapanpun..!”bisikku di telinganya.
”Ia..abang tau kok, yuck jalan..”
Ia menarik tanganku, merangkul pundakku, mengajakku mengitari keindahan kampung, nyaman sekali rasanya..sambil berdiam diri kami terus berjalan menyusuri rumah-rumah panggung menuju tempat manusia yang sedang riuh mendengarkan orgen tunggal. Aku menatap langit yang semakin gelap, rintik mulai berjatuhan.
“sepertinya hujan!”
“belum hujan, masih rintik kok.” Jawabnya menahan kekawatiranku.
“hei..Satiman, alak bagasmu de.i?”satu, dua, tiga ada lima cowok mendekati kami, sepertinya teman bang Satiman.
“Rhena..” aku menyebutkan namaku menyalami mereka satu persatu, sedangkan mereka hanya senyam-senyum menyikut usil lengan bang Satiman, tanpa menyebutkan masing-masing namanya.
“kau bisa di panggil KPAI tuh Man..” cowok berkulit putih memakai lobe putih mengatakan itu tepat di telinga bang Satiman dan jelas aku dengar.
“maksud-mu? Jawab bang Satiman.
“melarikan anak di bawah umur.” Tawanya berderai disambut bareng ke-empat kawannya. Aku menunduk malu, sedih sekali rasanya, aku di anggap gadis kecil yang belum pantas di jadikan pacar. Bang Satiman menatap wajah sedihku bergantian mempelototi teman-temannya, aku menahan bendungan yang hampir merembes ke pipiku, aku tidak mau terlihat cengeng dihadapan mereka.
“dari pada kalian! jangankan anak di bawah umur nenek-nenek pun nggak ada yang mau sama kalian.” Cibir bang Satiman membalas canda-an kawannya yang  keterlaluan itu, membela hatiku yang perih. Gerimis mulai semakin deras, disambut gelegar halilintar, namun penonton yang datang semakin ramai.
“pulang yuck..?!” ajak-ku pelan, tapi ku yakin bang Satiman mendengar suaraku.
“maaf ya dek!yang tadi Cuma becanda kok, masa sih gara-gara ngomong kayak gitu, langsung merajuk.” Yang ngomong cowok hitam, keling kayak negro.
“nggak marah kok, Cuma ngantuk aja.” Jawabku nge-less
“ya udah, kita pulang. Kami duluan ya.” Pamitnya, sikut-menyikut itu masih berlangsung ketika kami hendak beranjak, aku masih sempat mendengar bisikan teman-nya yang pakai baju merah. “keren body-nya Man..cari-in aku donk! tapi yang persis kayak gitu, biar awet muda, kan dapat daun segar…!” aku melihat bang Satiman tidak menghiraukan kata-kata bermaksud menyindir jarak usia-ku dengannya, aku membiarkannya membimbing tanganku menjauhi keramaian manusia yang semakin malam semakin ramai menonton acara orgen tunggal. Kami akhirnya sampai ke rumah kak Susi, duduk lesehan di teras rumah yang berada tepat di belakang kelas inpres, satu-satunya Sekolah Dasar Negeri di desa ini.
“Marah?”
“sama siapa?”
“yang tadi?”
Aku menggeleng...........(bersambung)


No comments:

Post a Comment